Jumat, 31 januari 2025 10
OPINI
oleh
Perguruan Tinggi Nambang (PTN)
ILUSTRASI: GUSTI/ARYA-HARIAN DISWAY
Rofi Aulia Rahman
Dosen hukum tata negara Fakultas
Hukum, Universitas Surabaya
Lebih lanjut dapat dilihat di link berikut
PADA 20 Januari 2025, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI resmimenyepakati perubahan UU Minerba sebagai usulan inisiatif DPR. Terdapat satu Pasal yang menjadi diskursus bersama, yaitu Pasal 51A ayat (1) dalam Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) yang menyatakan bahwa WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan) dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas. Berdasar pasal a quo, perguruan tinggi memiliki hak untuk melakukan usaha pertambangan. Hal tersebut menjadi diskursus karena tujuan dari
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi dan RUU Minerba memberikan norma yang inkonsistensi.
Melihat pada konsideran UU Perguruan Tinggi bahwa perguruan tinggi merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang berperan untuk mencerdaskan bangsa serta memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) berdasarkan prinsip-prinsip yang telah disepakati. Selain itu, Pasal 5 UU PT pun menegaskan kembali bahwa tujuan dari PT adalah mengembangkan peran mahasiswa serta menghasilkan lulusan yang mampu menguasai bidang-bidang ilmu tertentu yang mampu memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa. Selain itu, PT bertujuan menghasilkan iptek serta menjalankan pengabdian kepada masyarakat. Hal itu sangat jauh berbeda dengan tujuan dari RUU Minerba. Dalam konsideran RUU a quo, jelas tujuan utamanya adalah hilirisasi dan kegiatan eksploitasim yang bertujuan pada ekonomi dan Awal Kehancuran Dunia Pendidikan bisnis. Di sanalah titik permasalahan yang harus diselesaikan baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis dari kedua kegiatan tersebut yang sejatinya tidak selaras satu sama lain. Oleh karena itu, apabila frasa 51A ayat (1) tetap termaktub dalam RUU a quo, maka berpotensi akan terjadi berbagai permasalahan sosial.
BIBIT OLIGARKI
Potensi permasalahan pertama yang akan terjadi apabila PT memiliki hak untuk mengelola tambang adalah menjadikan izin usaha pertambangan akan menjadi koridor pintu masuknya oligarki, bahkan PT menjadi oligarki baru di dunia kampus. Tentu hal tersebut sangat berbahaya bagi perkembangan dunia akademik. Terlebih, prinsip utama dalam penyelenggaraan PT berdasarkan Pasal 6 UU PT adalah penyelenggaraan PT harus berdasarkan kebenaran ilmiah, demokratis, dan keadilan. Namun, diberikannya hak pengelolaan tambang oleh PT berpotensi merusak sendi-sendi pelaksanaan PT. Sebab, hal tersebut dipengaruhi tekanantekanan eksternal, mulai pemerintah hingga oligarki, agar PT tunduk dan tidak menentang kepentingankepentingan mereka yang pada akhirnya membungkam suara dunia akademik. Hal tersebut tentu berbahaya bagi praktik demokrasi dan esensi dunia
pendidikan sebagai pilar demokrasi dan penyeimbang kekuasaan karena pendidikan tinggi menjadi transaksi politik.
TEKANAN POLITIK DAN KEBEBASAN AKADEMIK
Pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi akan membuat makin dekatnya perguruan tinggi dengan kekuasaan. Hal itu berpotensi pada daya kritik dan peran perguruan tinggi sebagai socio political sphere dalam tatanan demokrasi akan terganggu. Dengan demikian, pada akhirnya proses checks and balances tidak berjalan. Apabila proses itu tidak berjalan, kekuasaan yang korup tidak bisa dibendung. Frasa cara prioritas menjadi
frasa yang sangat subjektif dan berpotensi menjadi transaksi politik dengan perguruan tinggi sebagaimana termaktub dalam Pasal 51A ayat (2) RUU Minerba menjadi koridor utama transaksi dagang sapi. Yakni, perguruan tinggi akan melakukan tawar-menawar dengan pemerintah selaku pemegang kekuasaan dalam penerbitan izin. Tentunya, sinyal itu perlu diwaspadai dan dikritisi karena bisa menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan dan pembungkaman dunia akademik terhadap pemerintah yang korup.Tekanan politik dan hukum dari pemerintah akan makin dirasakan apabila perguruan tinggi kritis terhadap pemerintah yang akan menjadikan political turbulence bagi dunia pendidikan, yang pada akhirnya pencopotan rektor, dekan, dan/atau pemecatan civitas academica karena telah melanggar komitmen politik yang telah dibuat antara oligarki pendidikan tinggi dengan pemerintah karena terlalu lantang dan kritis.
Selain itu, berkaca pada praktik penyalahgunaan sprindik (surat perintah penyidikan) yang dijadikan alat politik untuk membungkam lawan politik dan menurunkan gairah berdemokrasi menjadi alasan lain yang perlu diwaspadai. Pemerintah bisa saja menjadikan sprindik sebagai alat politik ketika pucuk pimpinan kampus yang mengelola tambang, baik disengaja atau bahkan dalam bentuk kriminalisasi, melakukan pelanggaran
hukum, baik korupsi maupun pelanggaran lainnya. Pemberian izin usaha pertambangan kepada PT akan membuat perguruan tinggi makin dekat dengan kekuasaan. Hal itu berpotensi pada daya kritik dan peran perguruan tinggi sebagai socio political sphere dalam tatanan demokrasi akan terganggu.
Pada akhirnya, proses checks and balances tidak berjalan. Apabila proses checks and balances tidak berjalan, kekuasaan yang korup tidak bisa dibendung. Praktik itu harus dijauhi sebisabisanya dan menutup celah negatif semaksimal mungkin. Oleh karena itu, apabila perguruan tinggi mendapatkan konsesi untuk mengelola tambang, kebebasan akademik menjadi pertaruhan utama bagi dunia pendidikan. Tentunya skenario politik hukum tersebut bertentangan dengan Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
WIUP BAGI PERGURUAN TINGGI INKONSTITUSIONAL
Mempertimbangkan kembali bahwa pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi akan
memberikan dampak negatif lebih besar daripada dampak positif, sejatinya frasa dalam Pasal 51A perlu dibatalkan Baleg DPR RI selaku inisiator RUU Minerba. Apabila tetap dipaksakan menjadi sebuah norma, norma pasal
tersebut berpotensi digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan UUD 1945. Selain Pasal 28E UUD 1945 yang akan menjadi faktor utama dalam mempertanyakan inkonstitusionalitas Pasal 51A RUU a quo, perlu dipertimbangkan kembali norma Pasal 31 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi bahwa pemerintah mengusahaka dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang. Bukannya mencerdaskan kehidupan bangsa, bakal banyak dampak negatif yang akan didapatkan perguruan tinggi daripada dampak positif.
Oleh karena itu, Pasal 51A RUU a quo bersifat inkonstitusional dan perlu dicabut dalam RUU Minerba. Juga, mengembalikan peran perguruan tinggi sebagaimana amanat UUD 1945 dan UU Perguruan Tinggi sebagai wadah pengembangan ilmu pengetahuan dan melahirkan generasi-generasi penerus bangsa yang memiliki integritas dan mampu bersaing secara global. (*)