Menakar Hak Informasi Konsumen Polemik Beras Oplosan

Jumat, 8 Agustus 2025 12 OPINI oleh ILUSTRASI: GUSTI-HARIAN DISWAY

Menakar Hak Informasi Konsumen Polemik Beras Oplosan

OPINI
oleh
ILUSTRASI: GUSTI-HARIAN DISWAY
Polemik Beras Oplosan
Heru Saputra Lumban Gaol
Dosen hukum perlindungan
konsumen, Fakultas Hukum,
Universitas Surabaya.

SELENGKAPNYA BISA DILIHAT DISINI

POLEMIK beras oplosan belakangan ini menyita perhatian publik. Romantisme Indonesia sebagai negara agraris menyebabkan isu tersebut begitu melekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Realitas sosial budaya juga memperkuat sentimen itu. Bahkan, tidak asing kita dengar pemeo ”belum makan jika belum makan nasi”. Masyarakat Indonesia sangat bergantung dengan beras. Itu berdasarkan fakta Indonesia sebagai negara terbesarkeempat konsumsi beras secara global yang mencapai 35,3 juta metrik ton sepanjang tahun 2023 (BPS, 2024). Lantas, bagaimana relevansi isu beras oplosan terhadap hak konsumen? John F. Kennedy mengemukakan, setidaknya ada empathak dasar yang dimiliki konsumen, yaitu (Samsul, 2004): the right to safety; the right to choose; the right to be informed; dan the right to be heard. Hak-hak tersebut diejahwantahkan lebih lanjut dalam Pasal 4 UndangUndang Nomor 8 tahun 1999tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Pada dasarnya, Pasal 7 huruf d UUPK juga mengatur kewajiban pelaku usaha untuk menjamin mutu barang yang diproduksi dan diperdagangkan Menakar Hak Informasi Konsumen

sesuai ketentuan standar mutu barang yang berlaku. Secara hukum, istilah ”beras oplosan” sebenarnya tidak ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Kata ”oplos” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti mencampur atau campuran dan dalam kata kerja, ”mengoplos” berarti mencampur. Praktik mengoplos beras merujuk pada kegiatan mencampur beras dengan kualitas premium dengan kualitas medium, bahkan mungkin di bawahnya. Sekalipun istilah itu tidak didefinisikan dalam peraturan perundang-undangan, praktik pencampuran kualitas beras berlabel premium dan mutu beras kualitas rendah telah melanggar ketentuan standar mutu pangan. Kerugian konsumen pun timbul karena harus membayar beras dengan harga premium, padahalmemperoleh beras dengan mutu di bawahnya. Meski demikian, fenomena ”beras oplosan” pada hakikatnya bukan sekadar kerugian ekonomis, melainkan juga pelanggaran fondasi utama penyelenggaraan asas keseimbangan dalam perlindungan konsumen berupa hak atas informasi bagi konsumen. Indonesia sebenarnya telah memiliki cukup regulasi yang mengatur standar mutu beras. Di antaranya, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang; Undang-Undang Perlindungan Konsumen; dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 31 Tahun 2017 tentang Kelas Mutu Beras. Sayang, polemik beras oplosan tidak pernah benar-benar tuntas selesai. Isu itu bergulir dari tahun ke tahun dengan pola yang berulang. Penyelesaiannya juga cenderung reaktif dan represif, alih-alih solutif dan inovatif. Persoalan itu cenderung dilihat sebagai kerugian konsumen berbasis angka, tetap mengabaikan esensi dasar lahirnya UUPK sebagai upaya menciptakan keberdayaan konsumen.

Konsumen memang memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf h UUPK. Meski demikian, keterbatasan pengetahuan konsumen terkait proses produksi produk menyebabkan konsumen sulit menuntut haknya. Belum lagi persoalan gugatmenggugat yang secara prosedural dan biaya tidak sepadan dengan nilai kerugian yang dialami konsumen. Konstruksi penyelesaian sengketa perdata melalui pemenuhan hak ganti rugi secara normatif tampaknya sempurna dan ideal. Namun, realitasnya sulit dijangkau. Pokok masalah sebenarnya adalah ketiadaan akses informasi bagi konsumen dalam sistem rantai pasok beras yang begitu kompleks. Konsumen dibiasakan menjadi tidak berdaya dengan minimnya akses informasi. Padahal, dalam perlindungan konsumen dikenal juga doktrin caveat emptor yang menuntut sikap hati-hati konsumen untuk melindungi diri secara aktif. Pemerintah sepertinya sulit menyadari bahwa konsumen berada jauh dari mata rantai distribusi pasok beras dengan minimnya akses informasi. Permasalahan minimnya akses informasi dalam rantai distribusi harus diperhatikan, khususnya komoditas beras yang merupakan makanan pokok bagi mayoritas masyarakat Indonesia.

Perlindungan konsumen yang melibatkan peran serta konsumen dalam fenomena beras oplosan dapat dilakukan dengan menciptakan sistem traceability atau ketelusuran produk beras. Implementasi traceability tidak hanya untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan terkait produk, tetapi juga dapat meningkatkan loyalitas konsumen melalui kepercayaan dan keberdayaan (Aiello et al. 2015). Sistem itu dapat digunakan untuk melakukan pelacakan produk beras yang dihasilkan secara menyeluruh dari hulu ke hilir, mencakup seluruh aktivitas, asalusul, dan karakteristik mutu produk. Sistem traceability atau ketelusuran produk beras dapat dilakukan dengan menerapkan sistem kontrak farming dan sistem barcoding (QR code) pada kemasan. Dengan demikian, konsumen dapat menelusuri asal-usul produk yang dihasilkan dan membantu konsumen mengetahui identitas produsen beras dan lokasinya. Beberapa negara sebenarnya telahmenerapkan sistem traceabilit dalam sistem rantai pasok pangan. Di Amerika Serikat (AS) hal itu telah dilakukan meski bersifat sukarela. Negara-negara Uni Eropa sejak 2005 bahkan telah mewajibkan pelaku usaha untuk menerapkan sistem traceability pada produk pangan sama halnya dengan negara Jepang (Sudibyo, 2012).

Indonesia sendiri masih mencoba mengembangkan sistem tersebut, tetapi sistem itu sangat potensial untuk diterapkan sebagai strategi pengelolaan dan distribusi beras pascapanen. Jika katanya pemerintah Indonesia menggaung-gaungkan swasembada pangan pada 2025, fenomena beras oplosan itu tidak dapat dipandang sebelah mata. Isu tersebut jelas menjadi tantangan yang harus diselesaikan secara tuntas. Orientasinya bukan lagi produktivitas dan stabilitas ekonomi semata, meliankan perlu adanya sinergisitas yang melibatkan peran serta pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen itu sendiri. (*) UMM mencatatkan sekitar 447 mahasiswa asing dari berbagai negara pada 2024. Sementara itu, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (UIN Maliki Malang) tercatat sebagai perguruan tinggi keagamaan Islam negeri dengan jumlah mahasiswa asing terbanyak di Indonesia, yaitu sebanyak 460 orang.

Data itu menunjukkan bahwa meski beberapa universitas di Jawa Timur telah meraih peringkat internasional yang baik, masih terdapat peluang besar untuk meningkatkan jumlah mahasiswa internasional melalui programprogram seperti summer school, kolaborasi riset, dan promosi internasional yang lebih agresif. Dalam konteks Jawa Timur, salah satu langkah konkret yang perlu dipercepat adalah
pembuatan program summer school atau summer program untuk mahasiswa internasional. Dengan lebih dari 300 perguruan tinggi aktif, Jawa Timur memiliki potensi besar untuk menjadi destinasi akademik internasional. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan Jakarta, Yogyakarta, atau Bali, kampuskampus di Jawa Timur masih tertinggal dalam menarik minat mahasiswa asing untuk program jangka pendek seperti summer school. Program summer school internasional tidak hanya memberikan manfaat akademik, tetapi juga berdampak signifikan terhadap perekonomian kota yang menyelenggarakannya. Menurut laporan dari National League of Cities (NLC), banyak kota di Amerika Serikat yang meningkatkan investasi mereka dalam program pembelajaran musim panas sebagai bagian dari strategi pemulihan pascapandemi. Investasi itu tidak hanya mendukung pendidikan, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui peningkatan aktivitas di sektor pariwisata, perhotelan, dan layanan lainnya.

Selain itu, hosting mahasiswa internasional melalui program summer school juga memberikan peluang ekonomi bagi masyarakat setempat. Misalnya, program homestay memungkinkan keluarga lokal mendapatkan penghasilan tambahan dengan menyediakan akomodasi bagi mahasiswa asing. Dengan demikian, pengembangan program summer school internasional di kota-kota seperti Surabaya,
Malang, atau Banyuwangi tidak hanya memperkuat posisi akademik Jawa Timur di kancah global, tetapi juga menjadi strategi efektif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lokal melalui peningkatan pariwisata, konsumsi, dan peluang kerja bagi masyarakat setempat. Kunci sukses dalam membangun ekosistem summer school internasional di Jawa Timur terletak pada kolaborasi progresif antara
pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan dunia usaha. Tidak cukup jika masing-masing perguruan tinggi bergerak sendirisendiri. Diperlukan gerakan kolektif yang terkoordinasi. Pemerintah Provinsi Jawa Timur harus aktif berperan sebagai fasilitator dan promotor utama. Dengan mendirikan platform kolaboratif –semacam konsorsium program internasional Jawa Timur –pemerintah dapat mempertemukan kampus-kampus negeri dan swasta untuk mendesain program summer school bersama-sama dengan dunia usaha dan
industri kreatif. Program itu bisa mengambil bentuk tematik. Misalnya, tentang inovasi teknologi di ITS, kesehatan global di Unair, pertanian berkelanjutan di Universitas Jember, hingga studi kebudayaan di Universitas
Negeri Malang.

Tentu, ada sejumlah tantangan besar yang harus diatasi untuk mewujudkan program summer school berkelas dunia di Jawa Timur. Internasionalisasi program summer school di Jawa Timur menghadapi beberapa tantangan utama yang perlu segera diatasi. Pertama, kesiapan administrasi dan regulasi masih menjadi hambatan sehingga pemerintah daerah perlu bekerja sama dengan kantor imigrasi untuk menciptakan jalur cepat (fast track) pengurusa visa mahasiswa asing. Kedua, promosi global perlu diperkuat melalui satu portal pendidikan internasional terpadu yang menyediakan informasi lengkap terkait program, pendaftaran, visa, akomodasi, dan kehidupan sosial di Jawa Timur. Ketiga, untuk memperkaya pengalaman mahasiswa asing, program itu harus menawarkan interaksi langsung dengan kekayaan budaya Jawa Timur seperti belajar gamelan di Malang, menghadiri upacara adat di Banyuwangi, hingga menikmati kuliner khas Surabaya yang mencerminkan keberagaman budaya dan kekuatan geokultural wilayah itu.

Membangun program summer school internasional bukan hanya tentang menghadirkan mahasiswa asing ke kampuskampus kita, melainkan tentang memperkenalkan Jawa Timur sebagai pusat inovasi, budaya, dan kemanusiaan di dunia. Momentum itu harus diambil sekarang, sebelum kita tertinggal lebih jauh dalam kompetisi global yang makin ketat. Selamat H

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *