Omnibus Law dan Upaya Dekriminalisasi

Foto: geotimes.co.id

Sejak retorika omnibus law digaungkan Presiden Jokowi hingga penyerahan dan pembahasan dua Dua Rancangan Undang-Undang (RUU) pada Februari kemarin, tidak kurang kritik, penolakan silih berganti disampaikan, mulai dari buruh, peneliti serta elemen masyarakat lainnya. Salah satu kritik menyasar ketentuan dalam RUU Cipta Kerja, yang mengubah ketentuan pengenaan sanksi dan pelanggaran bagi pelaku usaha dari yang sebelumnya tindak pidana dan sanksi pidana, menjadi pelanggaran dan sanksi administratif (dekriminalisasi).

Upaya ini dianggap melemahkan penegakan hukum dan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan pelaku usaha. Benarkan demikian? Kritik terhadap dekriminalisasi dalam RUU Cipta Kerja tentu tidak bisa dibangun dari pemahanan yang sepotong-potong, tidak cermat dan nihil kajian. Lantas bagaimana sebenarnya memahami pengaturan dekriminalisasi RUU Cipta Kerja?

Memahami dan Merumuskan Dekriminalisasi

Jika membaca teliti pasal-pasal pengenaan sanksi dalam RUU Cipta Kerja, maka RUU ini tidak seluruhnya dan tidak serta merta menghilangkan sanksi pidana atau mengubahnya menjadi sanksi administratif. Beberapa pelanggaran diatur dengan sanksi administratif dan sanksi pidana secara alternatif berjenjang, artinya jika pelaku tidak melaksanaan kewajiban pemenuhan sanksi administratif dan sanksi penggantian kerugian, maka sanksi pidana dapat dijatuhkan. Contoh konkret perubahan yang dilakukan RUU Cipta Kerja terhadap Pasal 69 hingga Pasal 71 UU Penataan Ruang.

Pelanggaran-pelanggaran terkait rencana tata ruang, kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang, dan pemberikan akses pada kawasan milik umum, sebelumnya diatur dengan sanksi pidana tanpa sanksi administratif. Pengenaan sanksi ini diubah dalam RUU Cipta Kerja, dengan pengenaan sanksi administratif berupa denda atau sanksi penggantian kerugian terlebih dahulu, yang dilanjutkan dengan sanksi pidana apabila pelaku tidak melaksanaan kewajiban denda dan pengganti kerugian tersebut.

Dalam konsep hukum pidana, pengaturan berjenjang ini berlandaskan asas subsidiaritas, yakni menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remidium ­(‘obat terakhir’) terhadap penanggulangan pelanggaranSanksi pidana dikonstruksikan sebagai alat terakhir penegakan hukum (criminal law as a measure of the last resort).

Sanksi lainnya selain pidana secara primum dikenakan terlebih dahulu dan sanksi pidana dikenakan secara ultimum apabila sanksi-sanksi sebelumnya tidak dilaksanakan pelaku. Pengaturan demikian wajar diterapkan pada pelanggaran berdimensi norma administratif seperti perizinan dan perpajakan, berbeda dengan norma-norma pidana murni seperti korupsi dan pencucian uang yang meletakkan sanksi pidana sebagai primum remedium/upaya utama penegakan hukum.

Perubahan sanksi RUU Cipta Kerja sebagian besar memang menyasar pelanggaran-pelanggaran berdimensi norma administratif yang sebelumnya hanya dikenakan sanksi pidana khususnya perizinan. Di samping karena memang pelanggaran berdimensi norma administratif, pilihan sanksi ini dinilai pemerintah mampu membentuk iklim usaha yang lebih kondusif, nyaman dan memiliki daya tarik bagi investor. Bisa jadi basis kriminal dianggap menimbulkan ketakutan, stigma buruk serta menurunkan reputasi pelaku usaha. Penegakan hukum terhadap sanksi administratif dinilai mengurangi over criminalizationover penalization serta lebih efektif dijatuhkan karena sanksi bersifat pemulihan (reparatoir) dapat segera dipenuhi tanpa harus melewati peradilan layaknya pidana.

Selain pengaturan model ultimum remidium tersebut, tidak dapat dibantah RUU Cipta Kerja juga menghapus beberapa sanksi pidana dan menggantinya dengan sanksi administratif. Sebagai contoh, sanksi pidana pada pelanggaran Pasal 42 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.

Pelanggaran terhadap ketentuan mempekerjaan tenaga kerja asing tersebut sebelumnya dikenakan sanksi pidana, akan tetapi sanksi pidana ini dihapus dan diubah oleh RUU Cipta Kerja hanya sebatas sanksi administratif menurut perubahan Pasal 190 UU Ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja.

Tidak hanya itu,  RUU Cipta Kerja bahkan juga benar-benar menghapus total pelanggaran-pelanggaran (tindak pidana) tertentu berikut sanksi pidananya tanpa menggantinya dengan sanksi apapun. Sebagai contoh pelanggaran dan sanksi pidana pada pelanggaran Pasal 167 jo Pasal 184 serta Pasal 90 jo. Pasal 185 UU Ketenagakerjaan. Pasal 167 berkaitan dengan pelanggaran PHK karena usia pensiun, sedangkan Pasal 90 berkaitan dengan pelanggaran pemberian upah minimum bagi pekerja.

Penghapusan ini dilakukan karena adanya reformulasi ketentuan pasal-pasal lainnya, sehingga kriminalisasi terhadap pasal-pasal tersebut dinilai tidak relevan. Dengan demikian, ada 3 model dekriminalisasi yang diatur dalam RUU Cipta Kerja, yakni (1)Mengubah tindak pidana menjadi pelanggaran dengan sanksi administratif dan sanksi pidana sebagai ultimum remidium (2)Mengganti pelanggaran dengan sanksi pidana menjadi sanksi administratif (3)Menghapus total tindak pidana berikut sanksi pidananya.

Penentuan model-model dekriminalisasi tersebut tidak bisa hanya didasarkan pada pertimbangan favoritisme pelaku usaha dan kepentingan investasi semata. Pembentuk undang-undang hendaknya tidak abai dengan pemahaman penting terkait hakikat kriminalisasi itu sendiri. Terdapat kriteria konseptual mengapa suatu perbuatan atau tingkah laku manusia dapat dikriminalisasi atau layak menjadi tindak pidana, pun demikian jika perbuatan tersebut hendak didekriminalisasi atau diubah menjadi bukan tindak pidana (Sudarto, Barda Nawawi).

Kriteria pertama berkaitan dengan kerugian dan korban. Kebijakan kriminalisasi/dekriminalisasi ditentukan dengan memperhatikan apakah perbuatan tersebut menyebabkan jatuhnya korban dan menimbulkan kerugian (materill, imateriil) bagi masyarakat. Kriteria kedua didasarkan pada penilaian keseimbangan beban dan hasil dari kriminalisasi.

Perlu diperhitungkan/ditimbang apakah ‘beban’ mengkriminalisasi seimbang dengan ‘hasil’ mengkriminalisasi. Beban mengkriminalisasi di antaranya terkait biaya pembentukan peraturan, proses penegakan hukum, beban yang dirasakan korban dan yang dirasakan pelaku, termasuk efek kriminogen yang terjadi, sedangkan hasil mengkriminalisasi meliputi tujuan tertib hukum serta manfaat-manfaat lainnya bagi masyarakat.

Kriteria bertiga berkaitan dengan kemampuan perlengkapan peradilan pidana, termasuk aparat penegak hukum. Kriminaliasi yang dilakukan jelas tidak boleh memperberat beban kinerja aparat, yang akibatnya justru mengganggu fungsi dan wibawa penegak hukum. Kriteria berikutnya dikaitkan dengan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia sendiri.

Berpegang pada konstitusi, maka kriminalisasi harus berkorelasi positif dengan kesejahteraan serta perlindungan segenap bangsa Indonesia. Kriteria-kriteria tersebut yang semestinya menjadi acuan pokok dalam politik hukum terkait kriminalisasi/dekriminalisasi, terlebih lagi RUU Cipta Kerja sebagai omnibus law yang merubah signifikan berbagai pelanggaran dan sanksi.

Penolakan dan pertentangan atas RUU harus dikaji dengan bijak, sehingga upaya dekriminalisasi dengan pertimbangan kalkulasi ekonomi dan investasinya tetap dapat dirumuskan, tanpa mendegradasi perlindungan kepentingan masyarakat.

Peter Jeremiah Setiawan, S.H., M.H., Dosen Laboratorium Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Surabaya

Tulisan dimuat di www.geotimes.co.id, 9 Maret 2020.