Menteri Kelautan dan Perikan Republik Indonesia secara resmi telah membuka kembali izin ekspor benur lobster melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2020. Kebijakan ini masih menjadi diskusi panas di ruang publik. Tetapi, ada hal yang tidak perlu diperdebatkan lagi mengenai lobster ini yaitu kita sekiranya setuju bahwa nilai ekonomi lobster ini sangat menggiurkan, mulai dari bibit hingga lobster dewasa.
Namun, sayangnya tidak semua negara sukses memanfaatkan anugerah sumber daya hayati yang melimpah di laut sebagai sebuah sumber keuntungan secara ekonomi. Kekayaan sumberdaya alam hayati tersebut bahkan membuat manusia menjadi rakus sehingga overcapitalization dan overexploitation serta penurunan sumber daya tidak dapat dihindari. Penurunan produksi hasil tangkapan dipengaruhi oleh meningkatnya kegiatan penangkapan yang menyebabkan penyusutan kelimpahan sumberdaya yang tidak sebanding dengan kemampuan pulih dari sumberdaya sehingga mengakibatkan terancamnya kelestarian sumberdaya itu sendiri (Djuhriansyah, 1999).
Pada tahun 2016 pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan terhadap ekspor bibit lobster termasuk ketentuan mengenai ukuran lobster yang bisa diekspor melalui Permen KP Nomor 56/2016.Konservasi dan keberlanjutan sumber daya lobster adalah alasan utama dan sekaligus menjadi nyawa terhadap lahirnya peraturan tersebut. Harga dan permintaan tinggi dari negara pengimpor berakibat langsung pada peningkatan aktivitas penangkapan benih lobster.
Sehingga penurunan hasil tangkapan terhadap benih lobster pada tahun 2014 tidak dapat dibendung karena penurunan stok benih di alamnya (Erlania, dkk, 2016). Kondisi tersebut tentunya menjadi masuk akal jika aktivitas penangkapan dan ekspor benih lobster dilakukan terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang serta pengelolaan yang tidak jelas arah. Anggapan bahwa lobster tidak akan punah juga perlu untuk dipikirkan kembali, jika tidak ada mekanisme budidaya yang baik. Sejak lahirnya hukum laut internasional (UNCLOS) pada tahun 1982 ada 2 hal penting diberikan kepada negara pantai yaitu hak dan kewajiban. Secara ekonomi, negara pantai diberikan hak untuk memanfaatkan SDA yang ada di laut teritorial hingga ke laut bebas.
Sehingga sebenarnya tidak dilarang juga oleh hukum internasional jika kemudian pemerintah ingin menjajakan benih lobster pada level internasional. Namun di sisi yang lain, pemerintah juga tidak boleh lupa bahwa ada kewajiban internasional bagi semua negara untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber daya alam baik hayati maupun non hayati serta lingkungan laut.
Pemerintah harus hati-hati dalam mengelola sumberdaya alam di lautan, termasuk masa depan lobster kita. Nafsu pemerintah untuk membuka kembali keran ekspor benih lobster dengan dalih peningkatan pundi devisa negara perlu kajian lebih agar menjadi solusi, takutnya hanya akan menjadi kontroversi. Tugas negara adalah untuk memastikan ecosystem lobster melimpah di alamnya serta menjaga agar spesiesnya tidak rapuh, bukan malah sebaliknya. Wacana tersebut bahkan cenderung akan menyimpangi pasal 194 UNCLOS 1982 yang telah memuat kewajiban yang lebih spesifik untuk melindungi dan melestarikan spesies dan ekosistem langka atau rapuh di semua bagian lingkungan laut, serta habitat spesies yang terancam atau hampir punah.
Pembatasan ekspor benih lobster sebaiknya tetap diberlakukan untuk menjaga keseimbangan stok lobster di laut, setidaknya sampai Indonesia dapat menerapkan pola budidaya lobster seperti Australia. Pembatasan dapat dilakukan dengan dua bentuk, pertama pembatasan kuota yang boleh ditangkap untuk kepentingan budidaya dalam negeri dan ekspor ke luar negeri.
Selain itu, pembatasan dapat juga dilakukan dengan sistem zonasi, menentukan wilayah yang dapat ditangkap untuk kepentingan perekonomian. Negara harus menerapkan prinsip kehati-hatian (precaoutionary principle) secara luas dalam upaya pengelolaan lobster agar sumberdaya dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang.
Pada bulan November 1990, Seketaris Jenderal PBB secara tegas telah mengatakan bahwa prinsip kehati-hatian adalah pendekatan yang dapat berdampak signifikan terhadap masa depan perlindungan laut dan konservasi sumberdaya. (David Freestone, 2010)
Pembukaan keran ekspor benih lobster tersebut tidak hanya dapat merusak ecosystem lobster, namun juga berpotensi merugikan nelayan kecil. Nelayan harusnya mendapatkan kepastian mengenai penentuan harga yang transparan agar supaya kebijakannya tidak lebih menguntungkan eksportir.
Untuk saat ini seharusnya pemerintah mempersiapkan dan mendorong pengelolaan budidaya di daerah dengan memberikan pelatihan-pelatihan bagi nelayan-nelayan kecil. Jika upaya budidaya sudah mengalami peningkatan dan perbaikan, maka secara otomatis ekspor benih sudah bisa untuk dibuka izinnya. Dengan Bahasa lain, pemberian izin ekspor benih lobster saat ini hanya akan merugikan ekosistem dan nelayan, dan membuka peluang bagi eksportir.
Pada level internasional, serangkaian perjanjian internasional mengenai lingkungan dan perikanan bertujuan untuk membantu memperbaiki kewajiban negara agar management perikanan semakin baik berkaitan dengan lingkungan pesisir pantai dan keanekaragaman hayati.
Dalam kasus lobster ini, kebijakan perdagangan dapat digunakan sebagai alat untuk mendukung upaya memperbaiki pengelolaan benih lobster. Beberapa jenis ikan dan spesies laut telah menjadi objek perjanjian multilateral dan manajemen perdagangan perikanan regional, misalnya ikan tuna.
Negara-negara dapat menyepakati kebijakan perdagangan sebagai filter bagi perdagangan benih lobster atau lobster dewasa di pasar internasional. Misalnya perjanjian internasional menyepakati mengenai standard dan ecolabel terhadap sumberdaya lobster, termasuk juga aturan tersebut perlu mencakup persyaratan alat tangkap, metode penangkapan serta ukuran minimum lobster (ICTSD Report, 2006). Sehingga lobster yang tidak sesuai dengan aturan internasional atau hasil penyeludupan akan mendapatkan hambatan ketika hendak memasuki pasar. Pemerintah harus hati-hati untuk mengelola sumberdaya lobster ini agar kebijakan sendiri tidak sampai mengebiri masa depan lobster. Memaksakan kehendak demi kepentingan saat ini tidak ada gunanya.
Muhammad Insan Tarigan, S.H., M.H., Dosen Laboratorium Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Surabaya
Tulisan dimuat di www.geotimes.co.id, 10 Juli 2020