Putusan MKMK Pintu Masuk Dugaan Tindak Pidana Nepotisme Mantan Ketua MK

“Putusan MKKM justru salah satu petitumnya mendasari Pasal 17 ayat 5 tersebut. Oleh karena itu, putusan MKMK ini dapat sebagai bukti surat untuk masuk dugaan adanya tindak pidana nepotisme atas putusan Perkara No. 90 tersebut.”

DRAMA Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/ PUU-XXI/2023 atas gugatan hak uji materiil batas usia minimal capres-cawapres berimplikasi adanya dugaan melanggar etik sudah selesai dengan putusan Majelis Kehormatan Makhamah Konstitusi (MKMK) bahwa Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman (Hakim Terlapor) melakukan pelanggaran sebagaimana tertuang dalam Sapta Karsa Hutama Prinsip Ketakberpihakan, Prinsip Integritas, Prinsip Kecakapan dan Kesetaraan, Prinsip Independensi, dan Prinsip Kepantasan dan Kesopanan.

Alhasil, MKMK memberhentikan Hakim Konstitusi Anwar Usman dari jabatan Ketua MK.

“Menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi kepada Hakim Terlapor serta Terlapor tidak dapat menjadi hakim konstitusi untuk Perkara Pilpres dan Pemilu 2024.”

Dugaan publik bahwa putusan MK atas Perkara No. 90 tersebut diduga penuh kepentingan untuk kepentingan “oknum” tertentu agar melenggang bebas menuju KPU untuk mendaftar sebagai cawapres dari partai-partai Koalisi Indonesia Maju.

 

Putusan MK sudah tidak obyektif, tidak independen karena diduga kuat dibawa kendali rezim yang sedang berkuasa.
Publik sangat mudah membaca keuntungan putusan perkara Nomor 90 ini, diduga kuat untuk meloloskan Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai cawapres Prabowo Subianto.

Dari aspek logika hukum, kita menjadi dengan menggunakan penafsiran sistematis dan gramatikal. Gugatan atas Pasal 169 huruf q UU Pemilu usia minimal capares cawapres 40 tahun tersebut diajukan oleh pelajar/mahasiswa FH Universitas 11 Maret Solo, yang mana dalam alasan gugatan (uji materiil) disebut sebagai orang yang “ngefans berat” terhadap Gibran Rakabumi Raka, dan nama ini digunakan sebagai contoh.

Jika alasan sebagai fans berat, maka pertanyaan hukumnya, dimana hak konstitusional mahasiswa hukum sebagai warga negara yang dirugikan atas Pasal 169 huruf q UU Pemilu sehingga harus mengajukan uji materiil ke MK? Dengan mata dan pikiran jernih, kita bisa melihat dan mengatakan tidak ada sama sekali hak konstitusional sebagai warga negara dirugikan dalam konteks perkara No. 90, hakim pemeriksa perkara dan putusan tersebut. Dengan kata lain, apa kepentingan yang ingin diperoleh mahasiswa FH Universitas 11 Maret atas uji materiil?

Publik mudah menebak yang menikmati putusan No. 90 ini adalah Gibran Rakabuming Raka. Karena dua hari pasca putusan MK yang kontroversial ini, yakni; batas usia capres-cawapres 40 tahun atau menduduki dan telah menduduki jabatan kepala daerah yang dipilih dari Pemilu/Pilkada”, maka Wali Kota Solo putra sulung presiden Joko Widodo ini langsung bergabung bersama Prabowo Subianto sebagai cawapres.

Apakah dengan diberikan sanksi pemberhentian dengan hormat dari Ketua MK, maka tertutup pintu untuk memproses dugaan pertanggungjawaban pidana terhadap mantan Ketua MK? Pasal 17 (5) Undang Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Putusan MKKM justru salah satu petitumnya mendasari Pasal 17 ayat 5 tersebut. Oleh karena itu, putusan MKMK ini dapat sebagai bukti surat untuk masuk dugaan adanya tindak pidana nepotisme atas putusan Perkara No. 90 tersebut.

Dalam Pasal 1 angka 5 Undang -Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme, dijelaskan nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Putusan MK perkara No. 90 dugaan kuat adanya nepotisme karena mantan Ketua MK adalah om/pamannya Gibran Rakabumi Raka, otomatis menguntungkan Walikota Solo.

Pasal 5 angka 4 undang undang yang sama, dijelaskan setiap penyelenggara negara diwajibkan untuk tidak melakukan perbuatan korupsi kolusi dan nepotisme. Lebih lanjut, Pasal 20 ayat 2 dijelaskan, setiap penyelenggara negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 atau 7 dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Selanjutnya Pasal 22 dijelaskan, setiap penyelenggara negara yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000 dan paling banyak Rp1.000.000.000.

Karena, putusan MK yang kontroversial ini berdampak negatif terhadap moral dan hukum bangsa ini sudah sampai di bawah titik nadir paling rendah. (mg)

Marianus Gaharpung
| dosen FH UBAYA Surabaya dan lawyer, putra asal bumi Flobamora

sumber: https://nusantarapedia.net/putusan-mkmk-pintu-masuk-dugaan-tindak-pidana-nepotisme-mantan-ketua-mk/2/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *