Mosi Impeachment Presiden Korsel,
Bagaimana Jika Terjadi di Indonesia?
oleh
Dr Rizki Putra Zulkarnain,
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Surabaya
Selengkapnya dapat dilihat di HARIAN DISWAY atau dengan cara KLIK DISINI
Annyeong haseyo… Akhir tahun 2024 ini, publik dunia dikejutkan dengan pengumuman darurat militer yang dilakukan oleh Presiden Korea Selatan Yoon Sukyeol. Meskipun akhirnya status tersebut hanya bertahan beberapa jam saja, namun efek dari pengumuman status darurat militer tersebut cukup membuat posisi jabatannya menjadi terancam. Itu karena adanya mosi impeachment Presiden Yoon Suk-yeol oleh Majelis Nasional. Sebelum melanjutkan, perlu kita ketahui bersama bahwa terminologi impeachment dan pemakzulan merupakan dua hal yang berbeda. Impeachment adalah proses awal yang menjadi pintu masuk untuk melakukan pemakzulan/pemberhentian terhadap Presiden atau pejabat negara lainnya.
Sedangkan pemakzulan itu sendiri mengandung makna pemberhentian. Impeachment Presiden Korea Selatan Presiden Korea Selatan Yoon Suk-yeol pada 3 Desember 2024, atau Selasa malam waktu setempat, mengumumkan darurat militer melalui sebuah pidato yang disiarkan langsung oleh kanal televisi YTN. Dalam pidato tersebut, Presiden Yoon Suk-yeol menuduh Partai Demokrat sebagai pemegang suara mayoritas Majelis Nasional melakukan pendekatan dengan Korea Utara, sebuah negara dengan sistem komunis, dan berpotensi mengancam keamanan negara Korea Selatan itu sendiri.
Pidato ini tentu saja membuat situasi keamanan Korea Selatan menjadi kacau, ditandai dengan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh masyarakat secara besarbesaran. Selain itu, Partai Demokrat menentang keras tuduhan dari Presiden Yoon Suk-yeol tersebut. Jika masyarakat melakukan aksi demo besar-besaran, di dalam Parlemen Majelis Nasional, Partai Demokrat sebagai pihak oposisi dan Partai Kekuatan Rakyat yang notabene adalah partai pengusung Yoon Suk-yeol juga melakukan mosi untuk mencabut status darurat militer. Selain melakukan mosi pencabutan status darurat militer, Majelis Nasional juga memiliki suara mayoritas untuk mengajukan mosi pemakzulan sebagaimana amanat Article 65 Constitution of the Republic of Korea, kepada Presiden Yoon Suk-yeol. Mosi impeachment pertama yang diadakan 7 Desember 2024 gagal karena saat itu tidak memenuhi kuorum. Kesempatan mosi kedua yakni pada 14 Desember 2024. Akhirnya impeachment terhadap Presiden Yoon Suk-yeol terwujud dengan hasil dukungan sebanyak 204 suara yang terdiri dari 85 suara menolak, 3 abstain dan 8 suara lainnya tidak sah.
Berdasarkan kejadian tersebut, merujuk pada Konstitusi Korea Selatan, hasil dukungan dimaksud kemudian dilanjutkan prosesnya kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan batas waktu 180 hari atau 6 bulan, sesuai dengan Article 38 Constitutional Court Act (Act No. 10546, Apr. 5, 2011). Sampai dengan proses pemakzulan di MK tersebut selesai dan menghasilkan suatu putusan hukum, yang menjabat sebagai Presiden sementara saat ini adalah Perdana Menteri Han Duck-soo. Bagaimana dengan proses impeachment di Indonesia? Impeachment di Indonesia diawali dengan adanya dugaan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, suap, tindak pidana berat lainnya serta perbuatan tercela dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, dengan menggunakan hak mereka yaitu Hak Menyatakan Pendapat. Untuk mencapai hal tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945), harus disetujui paling kurang 2/3 jumlah kehadiran sidang paripurna saat itu dari 2/3 jumlah anggota DPR secara keseluruhan.
Proses di DPR ini melakukan pengkajian, penyelidikan dengan mengumpulkan bukti-bukti hingga saksisaksi yang diyakini mengetahui tentang dugaan pelanggaran tersebut. Bahkan tidak menutup kemungkinan Presiden dan/atau Wakil Presiden diundang ke DPR untuk dimintakan keterangan lebih lanjut. Selanjutnya jika dalam proses tersebut didapati suatu hasil yang sesuai dengan dugaan DPR, maka kemudian langkah selanjutnya adalah meminta MK untuk memeriksa dan mengadili pendapat DPR tersebut secara hukum. Proses yang terjadi di MK ini merupakan forum privilegiatum. Suatu forum khusus yang dilaksanakan dalam rangka mengadili seorang pejabat negara. UUD NRI 1945 Pasal 24C ayat (2) menjelaskan bahwa MK wajib memberikan putusan atas pendapatDPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. MK mempunyai
waktu 90 hari untuk memutuskan hasil menyatakan pendapat DPR tersebut. Apabila putusan MK membenarkan pendapat dari DPR, maka DPR akan mengajukan usulan pemakzulan Presiden/atau Wakil Presiden atas dasar putusan hukum MK tersebut kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Amanat UUD NRI 1945 Pasal 7B ayat (7) menyatakan bahwa keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.
Mekanisme di MPR ini bersifat politis. Jika dalam paripurna tersebut, ternyata tidak mencapai kuorum karena anggota yang hadir tidak mencapai 3/4 jumlah anggota MPR keseluruhan, keputusan yang diambil dalam rapat paripurna tersebut adalah tidak dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Padahal sebelum proses di MPR, MK telah memberikan putusan. Berdasarkan hal di atas, proses impeachment hingga pemakzulan yang diatur dalam sistem hukum Indonesia lebih cenderung kepada aspek politik dari lembaga DPR dan MPR. Sedangkan aspek hukum yang dilaksanakan oleh MK terkesan hanya sekedar pemanis belaka. Perbedaan Proses Impeachment Hingga Pemakzulan Presiden Korea Selatan dan Indonesia. Mosi impeachment di Korea Selatan ditujukan tidak hanya kepada Presiden, namun juga kepada Perdana Menteri, anggota Dewan Negara, pimpinan Kementerian Eksekutif, Hakim Mahkamah Konstitusi, Hakim, anggota Komisi Pemilihan Umum, Ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan, dan pejabat publik lainnya yang ditunjuk oleh Undang-Undang. Tidak ada unsur Wakil Presiden karena sejak tahun 1960, Korea Selatan telah menghapus jabatan tersebut.
Sedangkan di Indonesia, mosi impeachment tersebut hanya berlaku kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Jika melakukan perbandingan, mulai proses impeachment hingga pemakzulan Presiden di Korea Selatan dan Indonesia, negara Korea Selatan lebih menjunjung tinggi aspek hukum dibandingkan negara Indonesia. Proses awal impeachment di Korea Selatan dan Indonesia memiliki persamaan, yaitu dilakukan oleh anggota parlemen atau wakil rakyatnya, dan hasil kuorum tersebut kemudian diajukan kepada MK untuk dilakukan pemeriksaan dan menghasilkan putusan secara hukum apakah Presiden terbukti atau tidak melakukan pelanggaran hukum.
Di Korea Selatan, apabila terbukti bersalah oleh MK, putusan tersebut otomatis akan memberhentikan Presiden dalam jabatannya. Namun hal berbeda jika terjadi di Indonesia, putusan MK akan dibawa DPR kepada MPR untuk melaksanakan rapat paripurna. Perihal ini sudah jelas menggambarkan bahwa proses akhir pemakzulan Presiden di Korea Selatan menggunakan putusan hukum MK, sedangkan Indonesia lebih memilih putusan yang bersifat politis melalui rapat paripurna MPR, walaupun hal tersebut memang diatur dalam UUD NRI 1945. Ke depan, Indonesia seyogyanya melakukan pembenahan terhadap proses tersebut, guna mendapatkan kepastian hukum mengingat pemakzulan terhadap Presiden merupakan suatu peristiwa hukum tata negara yang sangat penting
dalam berjalannya pemerintahan. Adanya “campur tangan” politik dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, serta
berpotensi menimbulkan ketegangan di dalam masyarakat Indonesia itu sendiri.