Menyoal Pemidanaan Ahli, Menimbang Hukum dan Keadilan
oleh
Indra Jaya Gunawan, M.H
Dosen Fakultas Hukum dan Koordinator Kantor Layanan Hukum (KLH) Ubaya
Universitas Surabaya
ILUSTRASI: ARYA-HARIAN DISWAY
Selengkapnya dapat dilihat di HARIAN DISWAY atau dengan cara KLIK DISINI
PUBLIK tentu masih sangat hangat dengan kabar mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan Harvey Moeis, perwakilan PT Refined Bangka Tin (RBT) yang terlibat dalam pengelolaan komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk. Korupsi yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun akibat kerusakan lingkungan hidup dan kerugian BUMN tersebut disoroti kuat oleh masyarakat akibat putusan pengadilan yang ”hanya” menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun 6 bulan dan denda Rp 1.000.000.000, serta uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 210.000.000.000 kepada terpidana. Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Nomor 70/ Pid.Sus-TPK/2024/PN.Jkt.Pst. tersebut langsung mendapat reaksi tajam dari berbagai pihak, termasuk Komisi Yudisial yang melakukan pendalaman atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara terkait.
Di balik semua pemberitaan, tersebut, terdapat satu hal menarik yang turut muncul belakangan, yaitu adanya laporan pemidanaan terhadap Prof Bambang Hero Saharjo. Siapakah ia? Ia merupakan guru besar dari Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Ia merupakan salah seorang ahli yang dihadirkan penuntut umum dalam kasus tersebut sebelumnya. Pada pokoknya, ia menjelaskan keabsahan aktivitas pertambangan PT Timah dan melakukan perhitungan kerugian lingkungan akibat tindak pidana korupsi PT Timah berikut kelima perusahaan smelter yang terlibat di wilayah Bangka Belitung. Anehnya, setelah adanya putusan dari PN Jakarta Pusat, Bambang justru dilaporkan Persaudaraan Pemuda Tempatan (Perpat) Kepulauan Bangka Belitung karena perhitungannya yang diklaim janggal. Menjadi sebuah pertanyaan dalam penegakan hukum di Indonesia, apakah seyogianya seorang ahli yang memberikan keterangan di muka persidangan menurut keahlian dan kemampuannya (profesional), dan bahkan telah disumpah, dapat dipidanakan?
APA ITU AHLI?
Definisi ahli dapat dipahami dari ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP, yang secara tidak langsung mengatur ”keterangan ahli” sebagai keterangan yang diberikan seorang yang memiliki keahlian khusus tentang
hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Pasal 120 Ayat (2) KUHAP menjelaskan bahwa ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji di muka penyidik, bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang msebaik-baiknya. Artinya, seorang ahli dihadirkan di muka persidangan karena memang layak dan pantas menurut kapasitas dan kapabilitasnya sesuai
keahlian khusus yang dimilikinya, diajukan untuk menyatakan pengetahuannya untuk memperjelas majelis hakim dalam memeriksa perkara terkait. Lebih lanjut, hukum acara pidana di Indonesia mengakui bahwa salah satu alat bukti yang sah adalah keterangan ahli menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP.
Dengan demikian, apa yang menjadi batasan kewenangan ahli dalam mengukur kedalaman pendapat dan keterangannya di muka persidangan? Pada pokoknya, seorang ahli memberikan keterangan bukan terhadap hal-hal yang dilihat, didengar, ataupun dialaminya sendiri, melainkan mengenai hal-hal yang menjadi atau Menyoal Pemidanaan Ahli, Menimbang Hukum dan Keadilan merupakan bidang keahliannya dan berhubungan erat dengan perkara yang diperiksa. Keterangan seorang ahli berkenaan dengan pengetahuan yang lahir dari keilmuan maupun pengalaman yang dimilikinya. Dengan kata lain, ahli tidak menilai fakta kasus perkara secara langsung, tetapi menerangkan kaidah logis yang melingkupi fakta tersebut. Sering kali pengetahuan seorang ahli diukur sejalan dengan pendidikan formal ataupun nonformal, juga sertifikasi dan hasil penelitian yang telah ditempuh seorang ahli sepanjang hidupnya.
Pada akhirnya, keberadaan ahli dapat saja diperlukan dalam persidangan untuk mendukung hakim dalam melaksanakan penerapan maupun penemuan hukum. KUHAP sendiri tidak mengatur secara khusus syarat-syarat untuk menjadi ahli di muka persidangan. Namun, dalam beberapa kasus, diatur ketentuan khusus untuk dapat menjadi ahli dalam perkaraperkara tertentu. Contohnya, Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 36/KMA/ SK/II/2013 tentang Pemberlakuan Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Dalam KKMA tersebut, diatur bahwa pihak yang berwenang menghitung ganti kerugian menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2011 tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran dan/ atau Kerusakan Lingkungan adalah ahli yang memenuhi kriteria. Yakni, i) memiliki sertifikat kompetensi; dan ii) telah melakukan penelitian ilmiah atau berpengalaman di bidang pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan valuasi ekonomi lingkungan hidup.
KKMA itulah yang kemudian menjadi salah satu landasan bagi Prof Bambang Hero Saharjo untuk dapat bertindak sebagai ahli dan diajukan pihak penuntut umum.
PEMIDANAAN TERHADAP AHLI
Perubahan Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) sesuai Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 sejatinya telah mengakomodasi adanya upaya perlindungan terhadap ahli meskipun masih bersifat parsial. Dalam konsiderannya, disebutkan untuk meningkatkan upaya pengungkapan secara menyeluruh suatu tindak pidana, diberikan perlindungan terhadap saksi pelaku, pelapor, dan ahli. Lebih lanjut, dalam Pasal 5 UU PSK ditentukan bahwa ahli berhak memperoleh perlindungan. Di antaranya, perlindungan atas keamanan pribadi, bebas dari ancaman berkaitan dengan keterangan yang diberikannya, dan memberikan keterangan tanpa tekanan.
Namun, perlindungan dari adanya tuntutan hukum, baik pidana maupun perdata sebagaimana diatur menurut ketentuan Pasal 10 UU PSK, masih striktif hanya diberikan kepada saksi korban, saksi pelaku, dan/atau pelapor. Uji materiil pernah dimohonkan terhadap ketentuan Pasal 10 UU PSK. Namun, melalui Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 109/PUU-XX/2022, Mahkamah Konstitusi secara tegas telah menolak. Dalam posita pemohon yang hendak mengikutsertakan frasa ”ahli” agar tidak dapat dituntut secara hukum, ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan pertimbangan keberadaan frasa ”ahli” yang justru akan merusak sistematika dan substansi pokok dari UU PSK sendiri yang menitikberatkan pada ”saksi” dan ”korban”.
Pun demikian, tidak satu pun dari hakim Mahkamah Konstitusi menafikan bahwa perlindungan terhadap ahli adalah suatu hal yang esensial dan tidak dapat disangkal. Hal tersebut tampak lebih jelas dari dissenting opinion yang menjelaskan inkonsistensi norma perlindungan hukum dalam UU PSK karena tidak dicantumkannya ahli sebagai subjek yang mendapatkan perlindungan dari tuntutan hukum pidana dan perdata. Menurut hakim Manahan
M.P. Sitompul dan M. Guntur Hamzah, pada pokoknya ahli yang memberikan keterangan keahlian dengan iktikad baik (good faith) seyogianya tetap mendapat perlindungan hukum (rechtsbescherming). Itu dalam rangka menjaga kehormatan dan profesionalisme ahli karena pada umumnya merupakan akademisi dan/atau praktisi yang telah mumpuni dan memiliki pengetahuan atau pengalaman di bidang masing-masing. Keterangan ahli pada dasarnya bersifat bebas (vrij bewijskracht) dan tidak mengikat bagi hakim untuk digunakan. Keterangan ahli lebih bersifat alat bantu konstruktif bagi hakim untuk menilai suatu perkara.
Oleh karena itu, berdasar karakteristik keterangan yang diberikan, berikut maksud dan tujuan dari adanya ahli dalam pemeriksaan suatu proses persidangan, sudah seharusnya ahli dilindungi dari berbagai upaya tekanan. Termasuk tuntutan hukum, baik secara pidana maupun perdata.
PENEGAKAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM DI INDONESIA
Hadirnya ahli dalam suatu proses persidangan tidak lain adalah instrumen konstruktif untuk membuka pandangan hakim secara jauh lebih luas terkait prinsip, norma, teori, maupun penilaian-penilaian ilmiah yang didasarkan pada pengetahuan ataupun kemampuan ahli bersangkutan dalam menunjang pemeriksaan perkara terkait. Keberadaan ahli juga merupakan bentuk partisipasi publik dalam penegakan hukum. Pelaporan terhadap Prof Bambang Hero
Saharjo sendiri bukan merupakan kasus pelaporan ahli yang pertama di Indonesia. Adanya upaya-upaya pemidanaan terhadap ahli yang memberikan keterangan di muka persidangan dikhawatirkan merupakan bagian dari upaya strategic lawsuit against public participation (SLAPP), yaitu upaya hukum yang berujung pada pembungkaman.
Maka itu, perlu dibangun suatu sistem hukum yang komprehensif dalam penggunaan keterangan ahli sebagai salah satu alat bukti dalam konstruksi hukum acara di Indonesia. Perlu dibentuk suatu ketentuan hukum yang mengatur perihal penilaian kompetensi seorang ahli secara jelas, pun demikian daftar ahli berikut kompetensinya dalam suatu database nasional, pengaturan kode etik, berikut jaminan independensi ahli melalui standardisasi remunerasi ahli. Itu semata-mata untuk memberikan perlindungan hukum yang jelas dan pasti bagi ahli di muka persidangan