Oleh : Michelle Kristina, SH, M.Kn
Dosen Fakultas Hukum
Universitas Surabaya
lebih lengkapnya dapat dilihat melalui link BERIKUT
PERADILAN Indonesia sebagai wajah penegakan hukum yang mulia, tercoreng akibat kegaduhanyang ditimbulkan oleh terdakwa RAN, penasihat hukum FO, dengan saksi HP di persidangan. Harga diri pengadilan ikut terinjak-injak saat FO, hukum RAN, naik ke atas meja sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Rekaman kejadian tersebut menyebar dan masyarakat pun mengecam aksi tidak pantas tersebut. Terlebih aksi tersebut dilakukan penasihat hukum yang notabene paham hukum. FO pun melakukan klarifikasi atas tindakannya tersebut dan menyatakan bahwa perbuatan tersebut merupakan refleks dirinya yang ingin melindungi klien nya RAN, yang sedang bersitegang dengan HP terkait kesaksian yang diberikan. Perbuatan FO dan RAN yang telah mencoreng wajah pengadilan pun direaksi oleh Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang secara resmi
memberhentikan RAN dan FO secara “Tidak Hormat”. Mahkamah Agung (MA) pun segera bertindak dengan pembekukan berita acara sumpah advokat RAN dan FO sehingga mereka tidak lagi dapat beracara di pengadilan. Pengadilan merupakan tempat untuk menyelenggarakan peradilan yang tertib, adil, benar. Dan pasti untuk menegakkan hukum dan keadilan yang mampu memberikan pengayomankepada masyarakat. Namun tidak
jarang pula terdapat perbuatan atau perilaku atau kata-kata yang dapat mencoreng atau merendahkan wibawa
dan harga diri pengadilan. Perbuatan atau kata-kata demikian dikenal sebagai Contempt of Court atau penghinaan terhadap pengadilan. Contempt of Court merupakan perbuatan baik secara aktif maupun pasif yang dilakukan baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan yang dianggap melecehkan atau merongrong kewibawaan pengadilan. Menurut Black’s Law Dictionary, Contempt of Court merupakan tindakan yang ditujukan untuk mempermalukan, menghalangi, atau merusak jalannya proses peradilan.
Demikian pula sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang telah mengalami beberapa kali perubahan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Bahwasannya Indonesia perlu menjaga integritas badan peradilan dari perbuatan, tingkah laku, sikap
dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan atau dikenal sebagai Contempt of Court. Objek yang diatur dalam Contempt of Court berkaitan dengan wibawa, martabat, dan kehormatan badan peradilan, yaitu terhadap orang-orang yang menjalankan lembaga tersebut (hakim, penuntut umum, penasihat hukum), hasil buatan lembaga tersebut (putusan, penetapan), dan proses kegiatan lembaga tersebut (persidangan baik tertutup maupun terbuka). Pihak-pihak yang dapat menjadi pelaku Contempt of Court dapat terdiri dari mereka yang ada di luar pengadilan seperti masyarakat atau pers. Begitu pula dapat berasal dari dalam proses peradilan seperti terdakwa, saksi, penasihat hukum, jaksa, bahkan
hakim itu sendiri. Oleh sebab itu perlu kita pahami berbagai macam bentuk Contempt of Court yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak.
Contempt of Court sendiri memiliki lima bentuk, yaitu Sub Judice Rule, Disobeying a court order, Obstructing justice, Scandalizing the court, dan Misbehaving in court. Bentuk pertama sub judice rule merupakan perbuatan penghinaan terhadap pengadilan yang dilakukan dengan cara publikasi. Disobeying a court order merupakan perbuatan yang tidak mematuhi perintah pengadilan. Obstructing justice merupakan perbuatan yang ditujukan atau mempunyai efek memutarbalikkan atau mengacaukan proses penegakan hukum. Scandalizing the court yaitu pernyataan yang menyerang integritas dan impartialitas / ketidak berpihakan pengadilan. Bentuk terakhir misbehaving in court merupakan perbuatan seseorang yang tidak berkelakuan baik dalam pengadilan. Berkaitan dengan masalah yang sedang dihadapi oleh pengadilan terkait kasus ‘naik ke meja sidang’ tersebut, terdapat dua perbuatan yang perlu dicermati bersama. Pertama merupakan perbuatan RAN terhadap HP yang keberatan dengan
kesaksian yang HP sampaikan. RAN menghampiri HP dan terjadi keributan. Kedua merupakan perbuatan kuasa hukum RAN yaitu FO yang bertindak dengan naik ke atas meja sidang namun segera ditegur oleh orang-orang yang melihatnya. Baik terhadap perbuatan pertama maupun kedua tersebut merupakan bentuk misbehaving in court. Perbuatan pertama berupa tindakan RAN yang keberatan terhadap kesaksian HP mengakibatkan persidangan menjadi tidak kondusif sehingga pengadilan harus menunda prosesnya. Perbuatan RAN tersebut berupa kata-kata atau gerakan tubuh yang merintangi atau mengacaukan normalitas dan harmonisasi dari proses sidang pengadilan. Perbuatan kedua adalah perbuatan FO yang naik ke meja sidang. Perbuatan FO tersebut merupakan bentuk tidak berkelakuan baik atau tidak patut dalam pengadilan. Dalam hal ini, perbuatan naik ke meja sidang pengadilan tentu tidak etis dan tidak patut terlebih dilakukan oleh seorang penasihat hukum. Perbuatan yang RAN dan FO lakukan tentu samasama tidak dapat diterima baik secara etika maupun hukum.
Secara etik, RAN dan FO telah menerima sanksi berupa pemberhentian secara ‘tidak hormat’ dari organisasi profesinya. Mahkamah Agung juga telah membekukan status beracara mereka. Sedangkan secara hukum, perlu dilihat bersama pengaturannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 Tentang KUHP (KUHP 2023), yang akan berlaku pada tahun 2026. Perbuatan RAN dan FO termasuk dalam bentuk misbehaving in court diatur dalam pasal 217 KUHP. Ketentuan hukum tersebut mengatur bahwasannya barangsiapa yang menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan dan tidak pergi setelah diperintah oleh yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau pidana denda. Begitu pula pengaturan dalam pasal 279 ayat (2) KUHP 2023, bahwasanya setiap orang yang membuat gaduh dalam sidang pengadilan dan tidak pergi setelah diperintahkan sampai tiga kali oleh atau atas nama hakim, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda. Berdasarkan hal tersebut, tentu menjadi nasihat bagi kita semua terutama bagi pihak-pihak yang secara aktif menjalankan profesi penegakan hukum agar dapat menjaga perbuatan maupun tutur katanya selama proses persidangan dan di pengadilan. Perbuatan dan tutur kata mereka menjadi cerminan kewibawaan dan kehormatan pengadilan yang mulia.