Kontroversi Perubahan Undang-Undang TNI
oleh
Prof Dr Hesti Armiwulan Sochmawardiah, SH,M.Hum
Guru Besar Hukum Tata Negara, FH Universitas Surabaya
Jumat, 28 Maret 2025
Di pertengahan Bulan Maret 2025, dalam suasana di mana umat Islam menjalankan ibadah Ramadhan, Masyarakat terhentak dengan informasi adanya pembahasan perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang TNI yang dinilai dilakukan secara tertutup sehingga menimbulkan reaksi penolakan dari berbagai komponen masyarakat sipil. Reaksi dari masyarakat dan juga mahasiswa diberbagai wilayah tidak menyurutkan langkah Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI untuk tetap melanjutkan pembahasan perubahan Undang-Undang TNI yang ujungnya melalui Sidang Paripurna pada tanggal 20 Maret 2025, DPR RI dan Presiden memberi persetujuan bersama atas RUU Perubahan UU TNI. Artinya, perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 telah final, tahap selanjutnya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 ayat (4) UUD Negara RI Tahun 1945, untuk menjadi Undang-Undang tinggal menunggu pengesahan dari Presiden RI. Mencermati kontroversi terkait perubahan UU TNI sesungguhnya tidak hanya persoalan pro dan kontra atas satu issue yang saat ini terjadi. Namun harus dipahami sebagai suatu kondisi
dimana rakyat atau masyarakat sipil harus dalam posisi berhadap-hadapan dengan penguasa. Hal seperti itu apabila tidak disikapi secara bijak sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis oleh para penguasa, dapat diperkirakan akan terulang untuk issue-isue yang lain. Akibatnya hukum tidak lagi bermakna sebagai penjamin kebebasan.
Paradigma hukum perundangundangan pada prinsipnya adalah wujud dari perlindungan terhadap hak asasi manusia dan di sisi yang lain memastikan adanya pembatasan kekuasaan. Hal tersebut secara tegas ditentukan dalam Pasal 28I ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945 yaitu “Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan”. Hukum yang demokratis adalah hukum yang menjamin semua orang dapat menikmati kebebasan termasuk kebebasan dari kesewenangwenangan, kebebasan tanpa dihantui oleh rasa takut, dan di sisi lain para penguasa tidak bertindak sewenangwenang. Hukum yang demokratis adalah hukum yang responsif, sebaliknya hukum yang tidak demokratis disebut sebagai hukum yang represif, yaitu hukum digunakan sebagai alat melegitimasi kekuasaan. Hukum digunakan untuk memberi pembenaran eksistensi kekuasaan.
Paradigma hukum yang demokratis harusnya menjiwai seluruh sistem hukum yang melingkupi semua aspek
yaitu struktur hukum, substansi dan kultur hukum. Harus diakui bahwa hukum adalah produk politik, namun
hukum tidak boleh dipolitisasi untuk kepentingan penguasa atau hanya untuk kepentingan kelompok tertentu. Kekuasaan seperti ini jelas berfungsi sebagai instrumen kepentingan (hukum digunakan untuk mengakomodir kepentingan kekuasaan).Kekuasaan seperti itu memang mempunyai dasar legitimasinya secara formal, akan tetapi jelas telah kehilangan legitimasinya secara materiil karena tidak mampu memperlihatkan wataknya yang merefleksikan moral kepatutan dan keadilan.
(Rule of Ethic).
Pembahasan perubahan UU TNI yang dilakukan secara tertutup dengan proses yang terkesan terburu-buru menimbulkan polemik dan kecurigaan adanya agenda tersembunyi, terlebih dengan tidak adanya akses bagi publik untuk memperoleh draft rancangan perubahan UU TNI. Padahal mengenai prosedur pembentukan peraturan perundangundangan secara detail telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022. Di ketentuan Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011
ditegaskan ada 7 (tujuh) azas pembentukan peraturan perundangundangan yang baik, salah satunya adalah azas keterbukaan. Azas keterbukaan adalah pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka.
Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan”. Selain itu dalam Pasal 96 ditentukan mengenai Partisipasi Masyarakat yang pada prinsipnya dalam pembentukan/perubahan peraturan perundang-undangan, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis. Bahkan ditegaskan untuk memudahkannya, setiap rancangan peraturan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, jelas sangat disayangkan dan sungguh memprihatinkan. Ketika dasar prosedur tidak terpenuhi dan diingatkan oleh masyarakat, alihalih DPR RI dan Presiden melakukan evaluasi dan introspeksi sebaliknya justru masyarakat yang dipersalahkan bahkan ada yang menyebut sebagai musuh negara.
Tidak terlihat adanya upaya demokratis yang dilakukan oleh Penguasa (DPR maupun Presiden) melalui mekanisme dialogis. Seharusnya mereka mempunyai kesadaran dan nalar yang baik, bahwa keberadaan mereka terpilih sebagai
penyelenggara negara adalah melalui mekanisme demokrasi yaitu melalui pemilihan umum. Tujuan pemilihan umum antara lain adalah memilih pemimpin yang mampu mewujudkan Tujuan Nasional, ternyata demokrasi elektoral yang berlangsung dengan biaya yang sangat besar tidak melahirkan pemimpin yang memposisikan dirinya sebagai negarawan yang mampu mensejahterakan rakyat.
Bagaimana seharusnya negara memosisikan TNI dan POLRI dalam konteks Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia. Sebetulnya, reformasi Tahun 1998 telah secara gamblang mengatur kedudukan dan kewenangan TNI dan POLRI sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 30 UUD Negara RI Tahun 1945. Artinya Reformasi Tahun 1998 telah menegaskan adanya supremasi sipil yang menjadi prinsip negara berkedaulatan rakyat, negara hokum, dan sekaligus negara yang menghormati hak azasi manusia. Demokrasi di Indonesia akan semakin baik dan semakin menguat apabila rakyat sebagai pemegang kedaulatan memiliki posisi tawar yang kuat, di samping itu penyelenggara negara juga menyadari batasan dalam menjalankan kewenangannya. Di penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa Indonesia bukan negara kekuasaan (machstaat) dan tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).
Cara-cara penanganan kasus secara represif yang berdampak makin tergerusnya kebebasan sipil, menjadi salah satu faktor indeks demokrasi Indonesia menurun. Nilai yang stagnan tersebut juga tercermin pada semua indikator, yakni pluralisme dan proses pemilu, efektivitas pemerintah, partisipasi politik, budaya politik yang demokratis, dan
kebebasan sipil. Akhirnya keberadaan UndangUndang TNI dan Undang-Undang Kepolisian RI haruslah dimaksudkan untuk menjabarkan kedudukan dan kewenangan sebagaimana yan ditentukan dalam UUD yaitu sebagai alat negara yang merupakan kekuatan utama dalam usaha pertahanan dan keamanan negara melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta. (*