Kerahasiaan Bank dalam Perkara Pidana TPPU Apa Boleh Dibuka Tanpa Persetujuan Nasabah?

 

selengkapnya dapat dibaca DISINI

MASALAH kerahasiaan bank sering kali (dan masih) menjadi problem di dalam pelaksanaannya guna kepentingan penegakan hukum di Indonesia. Salah satu kasus terbaru adalah artis Nikita Mirzani yang saat ini menjadi tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Jadi, sebenarnya bagaimana memahami mengenai kerahasiaan bank ini dan apa kaitannya dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU Anti Pencucian Uang) dalam memahami kerahasiaan bank ini?

APA ITU KERAHASIAAN BANK?
Pasal 1 angka 11 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 44 tahun 2024 tentang Rahasia Bank (selanjutnya disebut POJK Rahasia Bank) mendefinisikan bahwa rahasia bank adalah informasi yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanan dari nasabah penyimpan serta nasabah investor dan investasi dari nasabah investor. POJK rahasia bank itu merupakan peraturan pelaksana dari UU Perbankan (UU 7/1992 jo UU 10/1998), yang kemudian diubah dalam UU Pengembangan dan
Penguatan Sektor Keuangan (UU Nomor 4 Tahun 2023).

Definisi rahasia bank tersebut merupakan turunan dari definisi yang diberikan pasal 1 angka 16, yang menjelaskan bahwa rahasia
bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib dirahasiakan. Mengenai rahasia bank sendiri selanjutnya diatur dalam Pasal 40 UU Perbankan, yang kemudian mengalami perubahan dalam Pasal 14 angka 37 UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan, yang selanjutnya mengatur sebagai berikut: Pertama, bank dan pihak terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.

Kedua, dalam hal nasabah penyimpan sekaligus sebagai nasabah debitur, bank dan pihak terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai nasabah dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan. Bab II POJK Rahasia Bank, yaitu pasal 2, mengatur sebagai berikut:
1. Bank dan pihak terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai simpanan nasabah dan/atau investasinya.
2. Dalam hal: a. Nasabah penyimpan investor dan dan nasabah penyimpan sekaligus sebagai nasabah debitur;
b. Nasabah penyimpan sekaligus sebagai nasabah penerima fasilitas;
c. Nasabah investor sekaligus sebagai nasabah penerima fasilitas; atau
d. Nasabah investor sekaligus sebagai nasabah debitur, kewajiban bank dan pihak terafiliasi merahasiakan informasi mengenai nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam kedudukannya sebagai nasabah penyimpan dan simpanannya dan/atau nasabah
investor dan investasinya.

Hal tersebut menjadi kewajiban bank untuk merahasiakannya. Namun,Kerahasiaan Bank dalam Perkara Pidana TPPU ketentuan tersebut bukan tidak boleh disimpangi. UU dan peraturan tersebut memberikan pengecualian, yang tentu saja dipergunakan demi
kepentingan hukum. Pasal Pasal 14 angka 38 terkait dengan Pasal 40 A UU Perbankan. Pasal tersebut mengatur ada 12 kepentingan hukum yang menyebabkan kerahasiaan bank tersebut boleh disimpangi. Salah satunya adalah kepentingan peradilan dalam perkara pidana. Sementara itu, Pasal 3 POJK Rahasia Bank mengatur 13 kepentingan hukum yang boleh dikecualikan dalam pelaksanaan kewajiban kerahasiaan bank, salah satunya adalah kepentingan peradilan dalam perkara pidana.

Meski demikian, mengenai pembukaan kerahasiaan bank, tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 angka 38, yaitu terkait Pasal 40 B huruf a UU Perbankan menegaskan bahwa Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan izin membuka rahasia bank, yaitu untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf b; Pasal 4 POJK Rahasia Bank mengatur bahwasanya: a. Dalam melakukan pembukaan rahasia bank sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, bank wajib memiliki prosedur internal mengenai pembukaan rahasia bank. b. Bank mendokumentasikan seluruh permintaan dan
pemberian pembukaan informasi rahasia bank.

Selanjutnya ketentuan Pasal 14 angka 38, terkait Pasal 40 C UU Perbankan juga menegaskan sekali lagi bahwasanya: Setiap orang yang mendapatkan informasi mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 40A wajib menjaga kerahasiaan informasi mengenai simpanannya. Dengan demikian, kerahasiaan bank merupakan kewajiban, tetapi di satu sisi diizinkan disimpangi demi alasan kepentingan hukum, yang penggunaannya juga melalui prosedur yang telah ditentukan secara hukum.

 

BAGAIMANA UU ANTI PENCUCIAN UANG MEMANDANG HAL TERSEBUT?
Mengenai pencucian uang, haruslah dapat dipahami dan diyakini bahwa pencucian uang ini tidak sakedar berbicara mengenai sebuah tindak pidana asal. Tindak pidana pencucian uang merupakan fase tindak pidana yang rumit karena tujuan yang hendak diperoleh dengan mencuci uang adalah mengaburkan atau menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, yang diperoleh dari tindak pidana asal. Oleh karena itu, pendekatan yang dibangun adalah follow the money, bukan follow the perpetrator atau
follow the offender. Harapan yang ingin dicapai adalah mengungkapkan bukan hanya pelaku, melainkan juga harta kekayaan ilegal yang diperoleh dengan menelusuri aliran dana. Folow the money menelusuri transaksi. Mengenai transaksi, Pasal 1 angka 3 UU Anti Pencucian Uang mengatur bahwa transaksi adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak dan/atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih.

Mengenai transaksi keuangan, pasal 1 angka 4 menjelaskan bahwa transaksi keuangan adalah transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah sumbangan, penitipan, dan/atau penukaran atas sejumlah uang atau tindakan dan/atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. UU Anti Pencucian Uang mengecualikan mengenai kerahasiaan bank. Secara khusus, dalam Pasal 28 UU Anti Pencucian Uang mengatur bahwa pelaksanaan kewajiban pelaporan oleh pihak pelapor dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang berlaku bagi pihak pelapor yang bersangkutan.

Siapa pihak pelapor dalam hal ini? Pasal 1 angka 11 mengatur pihak pelapor adalah setiap orang yang menurut undang-undang itu wajib
menyampaikan laporan kepada PPATK. Tentang siapa saja yang dimaksud sebagai pihak pelapor, ketentuan Pasal 17 menentukannya, yang selanjutnya diatur pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 jo Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2021 tentang
Pihak Pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Salah satu yang dimaksud sebagai pihak pelapor adalah penyedia jasa keuangan (dapat dibaca salah satunya adalah bank). Ketentuan Pasal 72 ayat (1) UU Anti Pencucian Uang kemudian mengatur bahwasannya untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak
pidana pencucian uang, penyidik penuntut umum, atau hakim berwenang meminta pihak pelapor untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai harta kekayaan dari:

a. orang yang telah dilaporkan oleh PPATK kepada penyidik;
b. tersangka; atau
c. terdakwa Selanjutnya, ayat (2) menjelaskan bahwasannya permintaan keterangan oleh penegak hukum tersebut tidak berlaku ketentuan mengenai rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.

Mengenai tata caranya, ayat (3) (4) (5) menjelaskan mengenai hal tersebut. Pasal 29 UU Anti Pencucian Uang dengan jelas menentukan
bahwa kecuali terdapat unsur penyalahgunaan wewenang, pihak pelapor, pejabat, dan pegawainya tidak dapat dituntut, baik secara
perdata maupun pidana, atas pelaksanaan kewajiban pelaporan menurut undang-undang itu.

Dengan demikian, dalam sebuah kepentingan hukum yang sudah diatur dalam peraturan perundangundangan, pihak pelapor diberi
kewajiban memberikan informasi nasabah, dan tidak lagi sebagai pelanggaran kerahasiaan bank. Hal tersebut juga berarti tidak haru
menunggu persetujuan nasabah. Tentu saja harus dilaksanakan dengan cara-cara yang sesuai dengan aturan yang berlaku. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *