Cheng Yu Pilihan Wakil dekan I Fakultas Hukum Universitas Surabaya Peter Jeremiah Setiawan: Le Shan Bu Juan

Reporter: Novi Basuki & Anna Quan Wong|Editor: Heti Palestina Yunani|

 

Ditanya apa yang menjadi pegangan hidupnya, Peter Jeremiah Setiawan –yang wakil dekan I Fakultas Hukum Universitas Surabaya– mengirimkan foto berisi puisi berjudul “Do It Anyway”.

Di internet, ada yang menerjemahkan sajak yang banyak disebut sebagai karya Bunda Teresa itu dengan terjemahan begini:”Orang-orang sering tidak beralasan, tidak logis, dan mementingkan diri sendiri; Tetaplah maafkan mereka.

Jika kau peramah, orang-orang bisa saja menuduhmu egois, punya maksud tersembunyi;Tetaplah jadi peramah.Jika kau sukses, kau akan mendapatkan sejumlah teman palsu dan sejumlah musuh sejati; Jika kau jujur dan berterus terang, orang-orang mungkin akan mecurangimu; Tetaplah menjadi jujur dan berterus terang. Tetaplah sukses. Apa yang kau bangun bertahun-tahun, seseorang mungkin akan menghancurkannya dalam semalam; Tetaplah membangun. Jika kau damai dan berbahagia, mereka mungkin akan mengiri. Tetaplah berbahagia. Hal baik yang kau kerjakan hari ini, orang-orang mungkin akan melupakannya besok; Tetaplah mengerjakan hal baik. Berikan dunia, hal terbaik yang bisa kau miliki, dan hal tersebut tidak akan pernah cukup; Tetaplah berikan dunia, hal terbaik yang kau bisa. Kau melihat, dalam analisa akhir, hal tersebut adalah antara kau dan Tuhan; Hal tersebut tidak pernah antara kau dan mereka.”

Berarti, di mata orang lain, bisa dikata kita tidak akan pernah ada benarnya. Persis yang digambarkan cerita keledai yang dibiarkan tidak ditunggangi oleh anak kecil dan ayahnya yang sudah tua renta karena merasa kasihan kepada keledainya kalau harus membawa mereka berdua di tengah cuaca yang terik.

Orang-orang yang melihat mereka, mencibir mereka bodoh karena punya keledai yang bisa ditunggangi tapi tidak ditunggangi. Namun, setelah ditunggangi oleh anaknya karena ayahnya bilang kuat berjalan kaki, orang-orang balik mengatai si anak durhaka karena membiarkan ayahnya yang tua renta bersusah-susah jalan kaki sedangnya dirinya enak-enak menunggang keledai.

Giliran anaknya turun dan ganti ayahnya yang naik keledai, orang-orang mengecap sang ayah tak punya belas kasihan karena membiarkan anaknya bercapek-capek jalan kaki sedangkan dirinya berleha-leha di atas keledainya.

Ya, orang-orang akan selalu menemukan cara untuk mencari-cari kesalahan kita.

Berarti, di mata orang lain, bisa dikata kita tidak akan pernah ada benarnya. Persis yang digambarkan cerita keledai yang dibiarkan tidak ditunggangi oleh anak kecil dan ayahnya yang sudah tua renta karena merasa kasihan kepada keledainya kalau harus membawa mereka berdua di tengah cuaca yang terik.

Orang-orang yang melihat mereka, mencibir mereka bodoh karena punya keledai yang bisa ditunggangi tapi tidak ditunggangi. Namun, setelah ditunggangi oleh anaknya karena ayahnya bilang kuat berjalan kaki, orang-orang balik mengatai si anak durhaka karena membiarkan ayahnya yang tua renta bersusah-susah jalan kaki sedangnya dirinya enak-enak menunggang keledai.

Giliran anaknya turun dan ganti ayahnya yang naik keledai, orang-orang mengecap sang ayah tak punya belas kasihan karena membiarkan anaknya bercapek-capek jalan kaki sedangkan dirinya berleha-leha di atas keledainya.

Intinya, walau bagaimanapun, filsuf Mencius menyarankan kita untuk tetap “乐善不倦” (lè shàn bù juàn): senang dan tak pernah lelah berbuat baik. (*)

Berita lebih lanjut dapat diakses pada link :https://epaper.hariandisway.id/books

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *