Kamis, 19 Desember 2024 12
oleh
Clarisa Permata Hariono P.
Dosen Lab HAN Ubaya
Lebih lengkapnya dapat diunduh dengan cara KLIK DISINI
AKHIR November 2024, terdapat kabar yang menggembirakan dari istana. Presiden mengumumkan rencana kenaikan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen, yang telah ditindaklanjuti oleh Kemnaker dengan meneken Permenaker Nomor 16 Tahun 2024. Pada Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 5 ayat (2) Permenaker, jelas dikatakan bahwa kenaikan UMP untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota sebesar 6,5 persen dari UMP sebelumnya. Bak sebuah kado tahun baru, Pasal 11 Permenaker a quo menentukan UMP yang telah ditetapkan dengan menerapkan angka kenaikan upah tersebut akan berlaku pada 1 Januari 2025.
Kabar baik yang telah dilegalkan secara normatif tersebut tidak seutuhnya dipandang baik oleh masyarakat. Dari sisi buruh, besaran kenaikan upah dipandang tidak cukup menyejahterakan buruh. Mengingat, walaupun terdapat kenaikan, pada sisi yang lain, banyak pula kebijakan pemerintah yang dipandang mencekik masyarakat seperti
rencana pemberlakuan iuran Tapera, kenaikan PPN, kenaikan tarif BPJS, hingga pembatasan BBM subsidi.
Para peneliti menyampaikan bahwa nominal kenaikan upah minimum yang ideal adalah pada angka 8–10 persen. Sebab, jika dibandingkan dengan seluruh permasalahan kenaikan atau inflasi tersebut, sejatinya kenaikan 6,5 persen itu tidak lain hanyalah seperti kenaikan 3 persen saja bagi buruh. Bagi pengusaha, kenaikan itu memberatkan lantaran banyak usaha yang masih mencoba bangkit dari masa Covid-19 pada 2020
hingga awal 2022.
Hal itu menunjukkan, meskipun pada bagian konsiderans menimbang huruf a dan b Permenaker menyatakan kenaikan upah itu sebagai upaya pemerintah untuk menjaga daya beli buruh dan daya saing usaha bagi pengusaha, permasalahan penentuan UMP memang selalu menimbulkan diskursus tiada henti. Selain masalah tersebut,
sebenarnya terdapat permasalahan lain terkait kenaikan UMP yang menjadi bahan perbincangan di kalangan buruh
dan pengusaha. Hal tersebut adalah mengenai nasib kenaikan upah minimum bagi buruh pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menjadi sebuah pertanyaan yang ramai diperbincangkan bagi masyarakat, apakah
ketentuan kenaikan UMP tersebut relevan bagi pekerja yang bekerja di UMKM?
Sebelum menelaah mengenai jawaban dari pertanyaan tersebut, penting menelaah secara singkat, usaha apa yang dapat dikualifikasikan sebagai UMKM. Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 yang telah diubah dengan UU Cipta Kerja jo Pasal 35 PP Nomor 7 Tahun 2021 menyatakan suatu usaha dapat dikatakan sebagai UMKM bila modal usaha dan penjualan tahunannya terbatas pada ketentuan a quo. Mengacu pada ketentuan PP Nomor 7 Tahun 2021, dapat dipahami bahwa regulasi tersebut sungguh memberikan banyak kemudahan bagi UMKM, termasuk memberikan regulasi yang memudahkan UMKM dalam mengupah para buruhnya.
Pasal 101 PP a quo menegaskan bahwa ketentuan UMP provinsi dan kabupaten/kota dikecualikan bagi usaha mikro dan kecil (UMK), serta lebih lanjut diatur dalam peraturan pemerintah tentang pengupahan, yang mengacu pada PP 36 Tahun 2021 jo PP 51 Tahun 2023 (PP Pengupahan). Senada dengan PP 7 Tahun 2021, pada Pasal 36 PP Pengupahan, jelas dinyatakan bahwa UMK dikecualikan dari perhitungan UMP yang diatur dalam PP Pengupahan. Penghitungan upah minimum UMK didasarkan pada kesepakatan buruh dan pengusaha UMK, dengan ketentuan kesepakatan besaran upah tersebut minimal 50 persen dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi dan minimal 25 persen di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi.
Kedua data tersebut mengambil data dari Badan Pusat Statistik. Penting untuk diingat, kemudahan yang diberikan pemerintah kepada UMK itu bukan tanpa kewajiban yang harus dilakukan. Melainkan, UMK tersebut harus mengandalkan sumber daya tradisional dalam usahanya Kenaikan UMP 6,5 Persen, Relevankah bagi UMKM? dan tidak bergerak pada usaha berteknologi tinggi dan padat modal sebagaimana diatur dalam Pasal 38 PP a quo.
Dengan demikian, kebijakan pengecualian terbatas bagi UMK yang memenuhi kualifikasi berdasar PP 7 Tahun 2021 dan PP Pengupahan. Bila hanya mendasarkan pada ketentuan normatif, secara cepat disimpulkan bahwa tidak terdapat relevansi apa pun antara ketentuan kenaikan upah dan ketentuan pengupahan bagi UMKM. Menurut hemat penulis, hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai suatu aturan tertulis yang berdiri sendiri, melainkan
harus dipahami holistik dengan mengaitkannya pada ketentuan lain, bahkan tak jarang memandang aturan yang hidup di masyarakat (living law). Mendasarkan pada hal tersebut, bila menyandingkan antara ketentuan Pasal 36 PP Pengupahan dengan ketentuan kenaikan upah sebesar 6,5 persen pada Permenaker 16/2024 akan terlihat adanya keterkaitan antara kedua ketentuan. Sebagaimana diketahui, PP Pengupahan mensyaratkan penentuan upah UMK harus didasarkan pada persentase tertentu yang dikaitkan rata-rata konsumsi masyarakat dan garis kemiskinan di tingkat provinsi.
Bila berbicara mengenai rata-rata konsumsi masyarakat dan angka garis kemiskinan, tentu mengacu dan dipengaruhi masyarakat secara luas, sehingga tidak terbatas pada masyarakat yang bekerja sebagai buruh pada UMKM. Rata-rata konsumsi masyarakat dan angka garis kemiskinan juga sangat dipengaruhi, salah satunya, dengan kemampuan daya beli masyarakat, yang sangat berkaitan salah satunya dengan besaran UMP yang
diterima masyarakat. Implikasinya, walaupun kenaikan upah 6,5 persen tidak terkait langsung dengan UMKM, tidak berarti sama sekali tidak memiliki relevansi bagi penentuan upah dan kenaikan upah UMKM. Ketidaktepatan dalam penentuan indikator serta besaran kenaikan UMP akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat (di samping fakor lain seperti inflasi), dan berujung pada rata-rata konsumsi masyarakat dan angka garis kemiskinan yang menjadi indikator penentuan upah minimum bagi UMK.
Pada sisi yang lain, untuk usaha menengah, sebenarnya masih terdapat problematika perbedaan pendapat, mengingat ketentuan pengecualian kenaikan UMP pada PP Pengupahan hanya bagi UMK, sehingga terdapat pandangan bahwa untuk usaha menengah, ketentuan kenaikan upah akan berelevansi secara langsung. Namun, ada pula pandangan yangmenyatakan berlaku seperti UMK sehingga untuk pandangan yang kedua ini, bila dikaitkan dengan opini penulis, akan tetap berelevansi walau tidak secara langsung. Hal itu menyebabkan pemerintah
perlu benar-benar berhatihati dalam penentuan besaran kenaikan UMP, mengingat masih adanya relevansi secara tidak secara langsung antara penentuan kenaikan UMP buruh secara umum dengan penentuan dan kenaikan
upah UMKM.
Pada sisi lain, pengusaha dan buruh di sektor UMKM juga tetap perlu memperhatikan regulasi kenaikan upah yang terjadi. Sebab, secara tidak langsung tetap berelevansi dengan besaran upah sektor UMKM. (*)