oleh
Michelle Kristina
Dosen di Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya)
ILLUSTRASI: GUSTI-HARIAN DISWAY
SELENGKAPNYA DAPAT DILIHAT DENGAN CARA KLIK DI SINI
SISTEM peradilan pidana di Indonesia terus mengalami perkembangan demi menghadirkan keadilan yang seadiladilnya baik bagi pelaku maupun korban tindak pidana. Namun, tak jarang pula, proses mencari keadilan itu diwarnai dengan kendala (baik dari sisi hukum maupun nonhukum) serta rasa ketidakpuasan terhadap hasil putusan pengadilan. Belum lagi proses persidangan yang butuh waktu, sedangkan hak-hak korban sering kali jadi terabaikan. Sering kali pula, proses sidang pada peradilan pidana lebih mengutamakan penghukuman terhadap pelaku, bukannya memperbaiki diri pelaku ataupun memulihkan kembali kondisi korban yang hak-haknya telah dicederai pelaku tindak pidana. Berkaca dari banyaknya kekurangan yang dirasakan dalam mencari keadilan, restorative justice hadir untuk menyelesaikan berbagai
masalah tersebut.
Restorative justice atau disingkat RJ merupakan pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak, baik korban, pelaku, keluarga pelaku/korban, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, bukan hanya pembalasan. Nilai-nilai yang terkandung dalam penyelesaian perkara secara RJ sebenarnya sudah dikenal di Indonesia sejak dulu kala. Nilai-nilai toleransi dan budaya kekeluargaan menjadi landasan kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal tersebut juga yang menjadikan RJ rasanya tidak susahuntuk dipahami masyarakat. RJ memiliki beberapa prinsip penting.
Di antaranya, RJ mengedepankan penyelesaian masalah melalui dialog dan partisipasi antara pelaku, korban, dan masyarakat untuk duduk bersama mencari solusi terbaik, langkahlangkah perbaikan bagi pelaku, dan pemulihan derita yang dialami Korban.
Fokus utama pada RJ menitikberatkan pada pertanggungjawaban diri pelaku dengan mengakui kesalahannya serta bertanggung jawab untuk memulihkan kondisi yang telah rusak. Ganti rugi terhadap korban (baik kerugian fisik, psikis, maupun materiil) menjadi salah satu fokus pemulihan kondisi kembali seperti sedia kala serta adanya pemaafan dari diri korban kepada pelaku. Terlebih, salah satu keuntungan dengan adanya RJ itu, masyarakat dapat dilibatkan secara aktif untuk mendukung proses pemulihan, tidak hanya melibatkan pelaku-korban. Penyelesaian secara RJ juga mampu menghindari stigmatisasi terhadap pelaku dan jauh lebih efektif untuk mengakomodasi terpenuhinya hak-hak korban. Penerapan RJ dapat ditemukan dalam PerJa Nomor 15 Tahun 2020, PerPol No. 8 Tahun 2021, dan PerMa Nomor 1 Tahun 2024. Peraturanperaturan tersebut secara gencar dilaksanakan untuk menyelesaikan perkara pidana secara RJ. Adapun objek perbuatan pidana yang dapat diselesaikan dengan RJ, antara lain, yaitu pencurian ringan dengan nilai di bawah Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah), penganiayaan ringan (yang tidak menyebabkan cacat atau kematian), delik aduan, pelanggaran lalu lintas ringan, penghinaan ringan, pelakunya anak, serta tindak pidana lainnya yang ancaman pidananya di bawah lima tahun, serta bukan residivis. Keberadaan RJ diharapkan mampu meredam konflik-konflik ringan, menghindari stigma sosial baik terhadap pelaku maupun korban, hingga mengakomodasi kebutuhankepentingan korban yang acap kali diabaikan dalam proses persidangan di pengadilan.
Pendekatan RJ memberikan bermacam-macam manfaat. Di antaranya, mengurangi beban penyelesaian perkara di pengadilan, meningkatkan keadilan yang korban butuhkan, pelaku dituntut untuk memperbaiki diri, dan memulihkan kembali kondisi seperti sedia kala. Namun, cita-cita mulia penerapan RJ masih jauh dari kata sempurna. Hadirnya RJ yang membawa dampak positif bagi penyelesaian perkara pidana juga tidak dapat terlepas dari dampak negatifnya. Contoh, dalam proses RJ, bisa saja terjadi korban ditekan dan seolah dipaksa untuk menyelesaikan perkara secara RJ. Terlebih jika pelaku dianggap memiliki kekuasaan lebih kuat daripada korban sehingga terjadi ketimpangan relasi kuasa. Padahal, keberadaan RJ memosisikan pelaku dan korban pada posisi yang sama/setara.
Dengan demikian, relasi kuasa harus ditiadakan. Kendala berikutnya dalam penerapan RJ terkait kesiapan aparatur penegak hukum dalam memahami esensi penyelesaian perkara secara RJ. Apabila hal tersebut gagal untuk dipahami secara menyeluruh oleh para aparat penegak hukum, bisa dipastikan akan muncul banyak sekali penyimpangan pada proses penegakan hukum melalui mekanisme RJ. Oleh sebab itu, pelatihan dan pemahaman yang mendalam serta pelaksanaan RJ yang adil, transparan, dan akuntabel menjadi salah satu faktor penting yang harus diatur dan dilengkapi pula. Tantangan yang terakhir adalah membangun budaya kesadaran hukum di masyarakat dalam menerapkan/menyelesaikan perkara pidana dengan RJ. Bahwasannya, masih lekat juga dalam benak pikiran
masyarakat bahwa pelaku harus dihukum seberat-beratnya dan dimasukkan ke penjara.
Namun, dengan hadirnya RJ, konsep itu tidak lagi berpusat pada menghukum pelaku seberat-beratnya. RJ menitikberatkan pada pelaku
mengakui kesalahannya, memperbaiki diri, korban memaafkan dan terpenuhinya hak-hak korban, serta memulihkan kembali situasi yang telah dirusak akibat perbuatan pelaku. Oleh karena itu, peran serta masyarakat sangat penting untuk menerapkan nilainilai, baik penyelesaian perkara secara kekeluargaan maupun penyelesaian melalui proses RJ.
Akhir kata, RJ memberikan paradigma baru dalam proses penyelesaian perkara pidana dengan mengedepankan proses perbaikan diri pelaku dan pemulihan kembali hak-hak korban. Masyarakat Indonesia telah mengenal nilai-nilai penyelesaian perkara secara kekeluargaan dan mengayomi semua pihak. Implementasi RJ tidak akan berhasil tanpa keterlibatan semua pihak, bukan hanya aparatur penegak hukum, melainkan juga peran aktif masyarakat untuk menjaga nilai-nilai baik yang terkandung di dalamnya.
Oleh sebab itu, penerapan RJ harus dijunjung dengan penuh integritas, adil, dan transparan. RJ merupakan solusi bagi masyarakat Indonesia untuk merasakan keadilan yang mampu membawa perdamaian. penyelesaian masalah melalui dialog dan partisipasi antara pelaku, korban, dan masyarakat untuk duduk bersama mencari solusi terbaik, langkah-langkah perbaikan bagi pelaku, dan pemulihan
derita yang dialami Korban. Fokus utama pada RJ menitikberatkan pada pertanggungjawaban diri pelaku dengan mengakui kesalahannya serta bertanggung jawab untuk memulihkan kondisi yang telah rusak. Ganti rugi terhadap korban (baik kerugian fisik, psikis, maupun materiil) menjadi salah satu fokus pemulihan kondisi kembali seperti sedia kala serta adanya pemaafan dari diri
korban kepada pelaku.
Terlebih, salah satu keuntungan dengan adanya RJ itu, masyarakat dapat dilibatkan secara aktif untuk mendukung proses pemulihan, tidak hanya melibatkan pelaku-korban. Penyelesaian secara RJ juga mampu menghindari stigmatisasi terhadap pelaku dan jauh lebih efektif untuk mengakomodasi terpenuhinya hakhak korban. Penerapan RJ dapat ditemukan dalam PerJa Nomor 15 Tahun 2020, PerPol No. 8 Tahun 2021, dan PerMa Nomor 1 Tahun 2024. Peraturan-peraturan tersebut secara gencar dilaksanakan untuk menyelesaikan perkara pidana secara RJ. Adapun objek perbuatan pidana yang dapat diselesaikan dengan RJ, antara lain, yaitu pencurian ringan
dengan nilai di bawah Rp 2.500.000 (dua juta lima ratus ribu rupiah), penganiayaan ringan (yang tidak menyebabkan cacat atau kematian), delik aduan, pelanggaran lalu lintas ringan, penghinaan ringan, pelakunya anak, serta tindak pidana lainnya yang
ancaman pidananya di bawah lima tahun, serta bukan residivis. Keberadaan RJ diharapkan mampu meredam konflik-konflik ringan, menghindari stigma sosial baik terhadap pelaku maupun korban, hingga mengakomodasi kebutuhan-kepentingan korban yang acap kali diabaikan dalam proses persidangan di pengadilan. Pendekatan RJ memberikan bermacammacam manfaat. Di antaranya, mengurangi beban penyelesaian perkara di pengadilan, meningkatkan keadilan yang korban butuhkan, pelaku dituntut Namun, cita-cita mulia penerapan RJ masih jauh dari kata sempurna. Hadirnya RJ yang membawa dampak positif bagi penyelesaian perkara pidana juga tidak dapat terlepas dari dampak negatifnya.
Contoh, dalam proses RJ, bisa saja terjadi korban ditekan dan seolah dipaksa untuk menyelesaikan perkara secara RJ. Terlebih jika pelaku dianggap memiliki kekuasaan lebih kuat daripada korban sehingga terjadi ketimpangan relasi kuasa. Padahal, keberadaan RJ memosisikan pelaku dan korban pada posisi yang sama/setara. Dengan demikian, relasi kuasa harus ditiadakan. Kendala berikutnya dalam penerapan RJ terkait kesiapan aparatur penegak hukum dalam memahami esensi penyelesaian perkara secara RJ. Apabila hal tersebut gagal untuk dipahami secara menyeluruh oleh para aparat penegak hukum, bisa dipastikan akan muncul banyak sekali penyimpangan pada proses penegakan hukum melalui mekanisme RJ.
Oleh sebab itu, pelatihan dan pemahaman yang mendalam serta pelaksanaan RJ yang adil, transparan, dan akuntabel menjadi salah satu faktor penting yang harus diatur dan dilengkapi pula. Tantangan yang terakhir adalah membangun budaya kesadaran hukum di masyarakat dalam menerapkan/menyelesaikan perkara masyarakat bahwa pelaku harus dihukum seberat-beratnya dan dimasukkan ke penjara. Namun, dengan hadirnya RJ, konseptidak lagi berpusat pada menghukumpelaku seberat-beratnya. RJ
menitikberatkan pada pelaku mengakesalahannya, memperbaiki diri, korbmemaafkan dan terpenuhinya hak-hakorban, serta memulihkan kembali situasi yang telah dirusak akibat perbuatan pelaku.
Oleh karena itu, peran serta masyarasangat penting untuk menerapkan ninilai, baik penyelesaian perkara secakekeluargaan maupun penyelesaian melalui proses RJ. Akhir kata, RJ memberikan paradigma baru dalam proses penyelesaian perkara pidana dengan mengedepankan proses perbaikandiri pelaku dan pemulihan kembalhak-hak korban. Masyarakat Indonesia telah mengenal nilai-nilai penyelesaian perkara secara kekeluargaan dan mengayomi semua pihak. Implementasi RJ tidak akan berhatanpa keterlibatan semua pihak, bukan hanya aparatur penegak hukum, melainkan juga peran aktif masyarakat untuk menjaga nilai-nbaik yang terkandung di dalamnya Oleh sebab itu, penerapan RJ harus dijunjung dengan penuh integritas