Ilustrasi: tribunnews.com
Surabaya : Peran masyarakat dan efektivitas PSBB dalam menanggulangi COVID-19 di Indonesia, dibahas dalam webinar (web seminar) yang diikuti oleh mahasiswa aktif Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya).
Webinar dengan tema “Gerak Langkah Kebijakan PSBB oleh Pemerintah Guna Penanggulangan COVID-19” merupakan rangkaian akhir kegiatan tahunan dari Games of Droit (GOD) 2.0, Senin (18/5/2020).
Webinar GOD 2.0 mengundang tiga narasumber sebagai pembicara dalam menanggapi penanganan medis, hingga aturan negara dalam situasi PSBB di Indonesia yang dilihat dari bidang kesehatan, hukum internasional, dan hukum tata negara.
Narasumber yang hadir yaitu dr. Risma Ikawaty, Ph.D. selaku dosen Fakultas Kedokteran Ubaya, Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M. selaku dosen Hukum Internasional Fakultas Hukum Ubaya, serta Dr. Hj. Hesti Armiwulan, S.H., M.Hum. selaku dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Ubaya.
Pembahasan narasumber pertama dimulai dengan pengaruh PSBB bagi masyarakat di bidang kesehatan. Dosen Fakultas Kedokteran Ubaya, dr. Risma Ikawaty memaparkan penjelasan mengenai penanganan medis COVID-19 dalam situasi PSBB, cara penyebaran virus dan tindakan yang dapat dilakukan masyarakat dalam membantu melandaikan kurva penderita.
Wakil Dekan I Fakultas Kedokteran ini menambahkan, jika perlu kesadaran yang tinggi pada masyarakat untuk menghindari kontak dengan orang yang positif agar tidak terjadi local transmission. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan masyarakat yaitu secara personal dengan terus melakukan tindakan preventif dalam menjaga kebersihan dan keamanan, melalui komunitas dengan menerapkan social distancing, dan lingkungan dengan membersihkan permukaan benda-benda yang berpotensi menjadi tempat menempelnya virus.
“PSBB sudah diterapkan namun angka kurva tetap meningkat dan tinggi. Apakah efektif, jika tidak, mengapa bisa begitu? Ini harus kita evaluasi meskipun ada yang mengatakan akibat dilakukan rapid test. Namun, kita bisa mencontoh dan melihat kondisi negara-negara lain yang dapat melandaikan kurva seperti Jepang, Korea Selatan, dan Singapura yang disiplin menerapkan social distancing diikuti penggunaan masker diluar rumah. Jika penerapan ini sungguh ditaati bersama-sama maka seharusnya dapat menurunkan kurva hingga 50 persen,” kata dr. Risma Ikawaty.
Pemaparan kedua terkait apek internasional dari penyebaran COVID-19 disampaikan oleh Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M. Dosen sekaligus Wakil Dekan I Fakultas Hukum Ubaya ini menyampaikan jika permasalahan COVID-19 merupakan masalah bersama. Pemerintah maupun masyarakat perlu kerjasama yang baik dalam menekan dan mengurangi angka penderita sekaligus menyelamatkan perekonomian Indonesia.
Merebaknya wabah COVID-19 juga dirasakan oleh hampir seluruh warga di dunia. Kebijakan PSBB yang ditetapkan di Indonesia seringkali dianggap sebagai kepentingan politik dan pencitraan oleh warga.
Faktanya, ini adalah aturan pemerintah yang dikeluarkan berdasarkan standar internasional yang telah dilakukan dan dianjurkan oleh WHO (World Health Organization). Jika kesehatan tidak dipatuhi maka jumlah penderita akan semakin banyak sehingga PSBB berlaku lebih lama dan dapat berimbas pada melemahnya sektor ekonomi.
“Partisipasi dan kesadaran masyarakat sangat dibutuhkan agar perjuangan COVID-19 tidak sia-sia. Kita harus mengikuti standar Internasional agar Indonesia juga bisa diterima oleh negara lain. Sebetulnya Indonesia bisa mengambil contoh negara lain yang dapat menekan angka penderita tanpa menghancurkan perekonomian seperti Vietnam,” sambungnya.
Disamping itu, Dr. Hj. Hesti Armiwulan, S.H., M.Hum. selaku Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Ubaya melanjutkan pemaparannya terkait perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM) selama PSBB di Indonesia. Salah satu cara yang dinilai efektif dalam menghentikan penularan COVID-19 adalah social distancing.
Kebijakan ini berpengaruh pada pasal 28 H UUD Negara RI tahun 1945 berbunyi setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta bertindak memperoleh pelayanan kesehatan.
Ketua Laboratorium Hukum Tata Negara Ubaya ini menegaskan jika aturan ini ingin menjelaskan maksud dari hak asasi manusia di bidang kesehatan dari sisi pemerintah dan masyarakat. Kesehatan yang dimaksud dalam pasal ini merupakan hak semua orang untuk sehat yang ditentukan oleh individu masing-masing dengan perilaku hidup sehat. Pemerintah dalam hal ini hanya membantu dalam menyediakan atau mengupayakan pelayanan kesehatan.
Partisipasi, kerjasama, dan solidaritas masyarakat yang tinggi akan kesehatan disertai dengan pelayanan pemerintah yang maksimal membuat penerapan PSBB dalam menanggulangi COVID-19 akan berhasil. Perlu diingat jika adanya kebijakan pembatasan yang dilakukan oleh negara maka pemerintah wajib memberikan solusi atau bantuan ekonomi kepada masyarakat. Hal ini berkaitan dengan hak hidup seseorang maka negara perlu memberikan kepastian kepada warganya.
“Aturan negara juga harus hadir dengan pelayanan yang maksimal dan pemerintah harus konsisten dalam mengambil keputusan, dan tidak diskriminatif. Aturan negara itu hadir bukan hanya berupa santunan kepada warga, tetapi warga lebih senang jika kebijakan yang dibuat jelas dan konsisten dari pemerintah pusat hingga daerah. Hal ini akan menggiring masyarakat untuk ikut menaati peraturan,” pungkas Hesti.
Artikel berita dimuat pada www.rri.co.id, times.co.id dan timesjakarta.com.