Vonis Mati Sang (Mantan) Jenderal: Dari ”Ultra Petita” hingga KUHP Baru

Rangkaian persidangan bekas Inspektur Jenderal Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta berujung vonis mati pada 13 Februari 2023. Sekalipun belum inkracht atau berkekuatan hukum tetap, setidaknya sebagian keraguan dan pertanyaan publik terjawab tentang arah penegakan hukum atas kasus tindak pidana pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, berikut tindakan obstruction of justice (penghalangan proses hukum) dalam bentuk pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik-nya.

Vonis Ferdy Sambo seragam dengan terdakwa-terdakwa lainnya, dalam arti sama-sama melebihi requisitoir penuntut umum (tuntutan). Vonis Ricky Rizal 13 tahun penjara, Kuat Ma’ruf 15 tahun penjara, dan Putri Candrawathi 20 tahun penjara dari tuntutan yang sama, yakni 8 tahun penjara.

Vonis majelis hakim yang diketuai Wahyu Iman Santoso tersebut menunjukkan adanya pertimbangan khusus atas perbuatan dan perilaku para terdakwa yang terbukti selama persidangan. Sesuai Pasal 197 KUHAP, pertimbangan majelis hakim dalam putusan memang tidak hanya berkaitan dengan alat bukti, fakta persidangan, dan pasal peraturan yang menjadi dasar pemidanaan, tetapi juga mesti memuat tentang hal atau keadaan memberatkan ataupun meringankan.

Baca juga: Ferdy Sambo Dihukum Mati, Hakim Sebut Tak Ada Hal Meringankan

Patut dicermati, majelis hakim mempunyai pertimbangan keadaan memberatkan yang sama di antara para terdakwa a quo, yakni para terdakwa tidak mengakui kesalahannya, tidak berterus terang atau berbelit-belit dalam menyampaikan keterangan di persidangan. Vonis terhadap para terdakwa, khususnya pidana mati Ferdy Sambo, tidak menghentikan laju perbincangan publik.

Para pegiat media sosial, akademisi, hingga media-media arus utama ”berlomba-lomba” membahas dan menghadirkan berbagai perspektif tentang vonis tersebut, mulai dari mengapa bisa penjatuhan vonis para terdakwa melampaui tuntutan jaksa hingga pertanyaan ragu terkait pelaksanaan vonis mati dikaitkan dengan UU Nomor 1 Tahun 2023 atau KUHP baru. Patut ditelisik bagaimana sudut pandang hukum pidana (dan hukum acara pidana) terhadap dua pertanyaan terakhir. Sudut pandang ini tentu didasarkan kepada asas atau konsep hukum tanpa ada tedensi keberpihakan.

Seorang jurnalis merekam tampilan layar siaran sidang di luar ruangan saat berlangsung sidang vonis terdakwa Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (13/2/2023). Ferdy Sambo divonis pidana hukuman mati atas pembunuhan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat.
RONY ARIYANTO NUGROHO

Seorang jurnalis merekam tampilan layar siaran sidang di luar ruangan saat berlangsung sidang vonis terdakwa Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (13/2/2023). Ferdy Sambo divonis pidana hukuman mati atas pembunuhan terhadap Brigadir Yosua Hutabarat.

Ultra petita dalam perkara pidana

Iudex non ultra petita atau ultra petita non cognoscitur, adagium yang juga sering disebut non ultra petita ini selalu dijadikan proposisi bagi pihak penentang vonis yang melampaui tuntutan. Adagium ini kurang lebih berarti hakim hanya mempertimbangkan atau memutus sesuai tuntutan yang diajukan. Adagium ini jelas tidak bisa jadi proposisi secara letterlijk dalam semua konteks pemeriksaaan perkara hukum. Ada garis pemisah yang tegas antara hakikat dan proses perkara pidana dan perdata.

Proses pemeriksaan perkara perdata diawali dengan dalil posita dan petitum yang dituangkan dalam satu formulasi gugatan. Pada gugatan tersebut akan tampak jelas apa-apa saja yang diminta oleh penggugat kepada tergugat untuk dipertimbangkan dan diputus hakim, artinya permintaan dalam gugatan inilah yang menjadi batasan bantahan oleh tergugat dan batasan maksimal untuk dikabulkan hakim perdata. Hakikat ini kemudian nyata pada norma Pasal 178 HIR atau Pasal 189 RBg (aturan hukum acara perdata), yang melarang hakim perdata memutus hal-hal yang tidak digugat atau melebihi yang digugat.

Berbeda halnya dengan perkara pidana yang pemeriksaannya dimulai dengan pembacaan dakwaan. Surat ini merupakan penataan konstruksi yuridis atas fakta hasil penyidikan. Sekalipun tidak ditentukan rigid dalam KUHAP, penafsiran sistematik atas Pasal 182, Pasal 191, hingga Pasal 197 KUHAP menunjukkan bahwa pengadilan tidak mungkin memeriksa dan menjatuhkan pidana di luar pasal dalam dakwaan, termasuk batasan bagi penuntut umum dalam mengajukan tuntutan dan terdakwa dalam mengajukan pembelaannya.

Tidak ada satu pun norma dalam KUHAP yang melarang hakim memberikan vonis melampaui tuntutan.

Dakwaan ini mesti dibedakan dengan tuntutan atau requisitoir yang diajukan penuntut umum pada tahap berikutnya setelah pembuktian selesai dilakukan. Tuntutan berisi analisis penuntut umum atas hasil pembuktian di persidangan, dan permintaan sanksi pidananya berdasarkan hasil analisisnya tersebut.

Oleh karena itu, tidak ada satu pun norma dalam KUHAP yang melarang hakim memberikan vonis melampaui tuntutan karena memang hakikatnya yang menjadi dasar pemeriksaan perkara pidana adalah dakwaan, bukan tuntutan. Layaknya gugatan, tergugat hanya bisa dihukum sebatas permintaan dalam gugatan, maka terdakwa juga hanya dapat dipidana semata-mata jika terbukti melakukan delik dalam dakwaan, bukan delik dan pidana yang menurut penuntut umum terbukti di tuntutan.

Jika kacamata yang digunakan adalah penafsiran letterlijk terhadap tiap kata non-ultra petita, vonis kasus Ferdy Sambo dan kawan-kawan memang tidak sesuai dengan non ultra petita. Secara nyata memang vonis pidana mati dan vonis penjara lainnya itu melebihi permintaan pada surat yang disebut tuntutan. Akan tetapi, secara hakikat dan norma vonis tersebut tidak menyimpang karena sejalan dengan dakwaan tentang tindak pidana pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP yang secara legalitas mengatur strafmaat pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau pidana selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun.

https://cdn-assetd.kompas.id/q9ObiQPEVTYFBxQD3UzRRhfFTxk=/1024x1219/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F02%2F14%2F6b8349bb-8d0a-43c7-a98e-a296c59e7303_png.png

KUHP baru dan pidana mati

Dikursus berikut tidak lepas dari dampak pengesahan UU No 1/2023 atau KUHP baru terhadap vonis mati Ferdy Sambo. Pasal 100 KUHP baru menentukan adanya pidana mati dengan masa percobaan, juga pasal 101 yang menentukan pidana mati dapat diubah menjadi seumur hidup jika pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun sejak grasi ditolak bukan karena terpidana melarikan diri. Pasal-pasal ini menjadi dasar sebagian publik mempertanyakan atau bahkan tidak terima. Ada sikap-sikap batin yang seolah keberatan dengan pelaksanaan hukuman mati menurut KUHP baru.

Perumus KUHP baru menegaskan pasal-pasal tersebut memang jalan tengah antara pihak yang pro dan kontra dengan pidana mati. Tidak bisa dinafikan, dua kubu ini selalu ada dan memang menjadi bagian dari debat tiada ujung di setiap pembahasan tentang aturan pidana mati di Indonesia. Baik argumentasi kesepadanan hukuman dengan kekejaman tindak pidana pada pihak pro hukuman mati dan argumentasi moral, agama, hingga hak asasi manusia, pihak kontra hukuman mati.

Jalan tengah perumus KUHP baru membuat pidana mati bukan lagi pidana pokok, melainkan pidana khusus dengan fungsi reintegrasi sosial bagi terpidana. Kekhususan itu yang diwujudkan di antaranya dalam Pasal 100 dan Pasal 101 KUHP baru. Tanpa mengesampingkan perasaan korban dan sikap batin sebagian masyarakat yang marah atas tindak pidana Ferdy Sambo, pelaksanaan vonis mati pada akhirnya akan merujuk KUHP baru. Sekalipun menurut Pasal 624, KUHP baru berlaku pada Januari 2026, perjalanan upaya hukum atas vonis Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dari banding, kasasi, peninjauan kembali, hingga grasi jelas memungkinkan untuk sampai pada waktu berlakunya KUHP baru tersebut.

Baca juga: Dilema Hukuman Mati di Indonesia

Penerapan KUHP Baru juga tidak bisa dilepaskan dari asas lex favor reotransitoir yang menjadi norma, baik di KUHP lama pada Pasal 1 Ayat (2) dan KUHP baru pada Pasal 3. Asas ini menjadi afirmasi bahwa pidana mati Ferdy Sambo dapat berubah menjadi pidana seumur hidup sebagai pidana yang lebih ringan bagi terpidana. Pasal 3 Ayat (7) KUHP baru menegaskan bahwa sekalipun putusan pemidanaan berkekuatan hukum, pelaksanaan putusan pemidanaan disesuaikan dengan batas pidana baru yang lebih ringan.

Memperdebatkan pelaksanaan vonis mati Ferdy Sambo, sama seperti debat tanpa ujung tentang pro-kontra pidana mati. Bagaimanapun juga KUHP baru dengan segala pengaturannya tentang pidana mati sebagai pidana khusus tetap akan berlaku.

Menghindari diskursus berkepanjangan yang kontraproduktif, maka terlebih penting saat ini negara, pemerintah, dan segenap komponennya mempersiapkan transisi sistem hukum pada KUHP baru dengan sebaik-baiknya, baik itu terkait legal subtance berbentuk peraturan-peraturan pelaksana dan transisi KUHP baru, legal structure utamanya kesiapan aparat penegak hukum, serta legal culture dalam bentuk kepatuhan serta internalisasi masyarakat terhadap aturan pada KUHP baru. Ini penting agar KUHP baru tidak jauh dari cita-citanya sebagai kerangka politik hukum untuk lebih melindungi kepentingan negara dan masyarakat serta memenuhi keadilan di masyarakat.

Peter Jeremiah SetiawanDosen Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya).

sumber berita: https://www.kompas.id/baca/opini

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *