Sumber : HARIAN DISWAY edisi Jum’at 01 November 2024
dapat dibaca lebih lanjut melalui link HARIAN DISWAY DISINI
Israel Larang UNRWA, Langgar Hukum Internasional TELAH satu tahun berlalu sejak eskalasi ketegangan konflik antara Israel dan Palestina berlangsung. Sayangnya, hingga saat ini belum menunjukkan pertikaian tersebut akan mereda. Hanya terjeda beberapa kali saat genjatan senjata. Israel pun masih rutin meluncurkan aksi-aksi serangan di wilayah Palestina khususnya Gaza. Hal ini terus menyita perhatian masyarakat internasional. Tentunya dengan harapan agar konflik ini dapat segera diselesaikan. Ataupun bila sukar diselesaikan, setidaknya hal-hal yang bertentangan dengan kemanusiaan harus diakhiri. Di samping persoalan pelanggaran hukum humaniter internasional yang sebenarnya sudah jelas dilakukan oleh Israel. Serangan-serangan militernya telah menyentuh pihak-pihak yang seharusnya dilindungi. Seperti sipil termasuk wanita dan anak hingga bangunan vital seperti rumah sakit atau kamp pengungsian. Serangan Israel sudah membabi buta. Pengungsi Palestina dan UNRWA Permasalahan mengenai pengungsi yang timbul akibat konflik IsraelPalestina juga merupakan persoalan yang cukup pelik dan membutuhkan penanganan khusus. Konflik militer atas dasar perebutan wilayah ini menimbulkan arus pengungsi yang jumlahnya terbilang besar. Khususnya yang berasal dari Palestina. Mereka terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya sebagai imbas dari konflik militer tersebut. Sayangnya, penanganan pengungsi Palestina tidak dapat menggunakan Konvensi Jenewa 1951 tentang status pengungsi akibat adanya limitasi dari definisi pengungsi itu sendiri. Konflik militer tidak termasuk sebagai alasan seseorang yang mengalami persekusi dan terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya untuk dapat diakui sebagai seorang pengungsi. Dengan demikian, pengungsi dari Palestina belum dapat memperoleh perlindungan seperti layaknya seorang pengungsi (misalnya dari Rohingya atau Syria) baik dari transit country hingga negara ketiga yang akan menerimanya sebagai warga negara. Berbagai durable solutions pun akhirnya belum dapat diberikan kepada para pengungsi Palestina. Mekanisme dan perlindungan yang diatur di dalam Konvensi Jenewa 1951 belum dapat mengakomodir apa yang dialami para pengungsi Palestina. Menyikapi hal ini, Perserikatan BangsaBangsa (PBB) membentuk sebuah badan khusus yang berfokus menangani persoalan pengungsi di Palestina. Yakni United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees in the Near East (UNRWA). UNRWA menerima mandat dari PBB sejak tahun 1949 pasca peristiwa Nakhba di tahun 1948 untuk membantu para pengungsi Palestina yang terusir dari wilayah yang kemudian diduduki oleh Israel. UNRWA berfokus pada pemberian bantuan dari aspek kesehatan, pendidikan, pelayanan sosial, hingga kebutuhan pangan bagi seluruh pengungsi Palestina yang saat ini tersebar di beberapa area antara lain Yordania, Lebanon, Gaza, bahkan West Bank yang merupakan bagian dari Yerusalem Timur. Berdasarkan data UNRWA, saat ini pengungsi Palestina mencapai 5,9 juta orang dan mereka bergantung pada UNRWA. UNRWA telah membersamai kehidupan para pengungsi Palestina selama beberapa generasi. Terlebih pasca memanasnya konflik IsraelPalestina pada 7 Oktober 2023 silam. The Banning of UNRWA: Sebuah Sikap Egosentris Pada 28 Oktober 2024, parlemen Israel (Knesset) mengesahkan sebuah undangundang yang secara substansi melarang operasional UNRWA secara penuh di daerah wilayah Israel. Pelarangan ini didasarkan pada tuduhan Israel yang menyatakan bahwa UNRWA terafiliasi dengan Hamas termasuk pada serangan pertama pada 7 Oktober 2023 yang disinyalir terdapat campur tangan kolusi oleh beberapa staf UNRWA. Menurut Israel, UNRWA adalah sebuah organisasi yang beranggotakan teroris sehingga Israel merasa perlu melarang penuh kontak antara para staf atau anggota UNRWA dengan pejabat Israel. Pelarangan ini akan sangat berdampak dalam praktik penanganan pengungsi Palestina oleh UNRWA. Khususnya bagi mereka yang berada di kamp pengungsian di wilayah kekuasaan Israel seperti West Bank termasuk Gaza. Jika Israel tidak ingin bekerja sama dengan UNRWA, ini berarti akan terjadi guncangan dalam distribusi bantuan kemanusiaan bagi pengungsi Palestina. Meskipun di sisi lain, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan akan tetap memprioritaskan bantuan kemanusiaan bagi para pengungsi dengan akan menjalin kerjasama dengan partner internasional Israel. Gita Venolita Valentina Gea, SH, MH. Dosen Laboratorium Hukum Internasional FH UBAYA oleh 15 BINCANG HUKUM UBAYA Namun berkaca pada apa yang telah dilakukan oleh Israel, khususnya pada saat memanasnya konflik dan terjadi pembatasan sangat ketat bagi logistik bantuan kemanusiaan untuk dapat memasuki Gaza, tentunya masyarakat internasional pesimistis dengan pernyataan Netanyahu tersebut. Terlepas dengan semua tuduhan terhadap UNRWA, persoalan mengenai kemanusiaan dan pengungsi yang timbul akibat konflik Israel-Palestina ini yang harus menjadi prioritas semua pihak termasuk pihak yang berkonflik. Puluhan negara telah memberikan kecamannya terhadap sikap Israel yang melarang UNRWA untuk dapat beroperasi dan menyatakan bahwa tindakan tersebut sebagai “another” international law violation. Entah berapa pelanggaran hukum internasional yang telah dilakukan oleh Israel, namun tindakan Israel kali ini juga semakin menunjukkan betapa ia merupakan sebuah negara dengan egosentrisme yang sangat tinggi. Menjadi hal yang patut dipertanyakan, Israel adalah negara anggota PBB tapi menentang dan melarang specialized agency dari PBB untuk bekerja dalam merestorasi hak-hak para pengungsi Palestina yang telah dirampas akibat konflik ini. Israel nampaknya lupa bahwa terdapat hal-hal yang telah menjadi jus cogens seperti persoalan hak asasi manusia yang di dalamnya termasuk kemanusiaan dan pengungsi. Tindakan Israel ini menjadi bukti bahwa Israel tidak memberikan penghormatan terhadap jus cogens tersebut bahkan seakan hukum internasional menjadi sesuatu yang dapat dipermainkan oleh subjeknya. Berkaca kepada perjalanan panjang konflik ini, bahkan opini/fatwa ICJ pun diabaikan Israel. Kembali lagi kepada para pemangku kekuasaan khususnya di PBB, negara-negara besar yang mempunyai influence langsung terhadap Israel, diperlukan solidaritas dan konsistensi dalam mendesak agar konflik yang telah mengorbankan banyak hal termasuk nyawa-nyawa orang tak bersalah ini agar dapat berakhir dan perdamaian dapat kembali dirasakan oleh masyarakat di wilayah Israel dan Palestina. Upaya-upaya perlu terus dilakukan baik itu dalam bentuk diplomasi hingga pemberian sanksi terhadap Israel guna menyudahi konflik ini dan bersatu padu mengarah menuju perdamaian demi kehidupan masyarakat internasional yang sejahtera secara kolektif. (*)