Anomie dalam Kasus Ronald Tannur

 

Sumber : HARIAN DISWAY edisi Jum’at 15 November 2024

dapat dibaca lebih lanjut melalui link HARIAN DISWAY DISINI

PENGANIAYAAN berujung kematian yang dilakukan Ronald Tannur menjadi viral dengan beredarnya berita dan video penganiayaan dilakukan di Surabaya satu tahun lalu. Peristiwa yang menarik perhatian publik ini kemudian masuk ke ranah hukum. Kasus tersebut menjadi perhatian publik tersebut namun ironisnya masih banyak pihak yang berusaha menutupi kebenaran. Penegakan hukum di dalam kasus terbunuhnya Dini pada tanggal 4 Oktober 2023 lalu mengalami berbagai upaya dalam menutupi kebenaran. Di awal pemeriksaan, pihak kepolisian sempat berusaha menutupi alasan meninggalnya korban. Iptu Samikan sebagai Kanit Reskrim Polsek Lakarsantri menyatakan korban Dini meninggal karena asam lambung. Bukan akibat dari penganiayaan yang dilakukan Ronald Tannur. Kejadian tersebut menyebabkan tiga anggota kepolisian yakni mantan Kapolsek Lakarsantri Kompol Hakim, Kanit Reskrim Polsek Lakasantri Iptu Samikan, dan Kasi Humas Polrestabes Surabaya AKP Haryoko Widhi diduga melanggar Pasal 221 KUHP tentang menutupi tindak pidana atau obstruction of justice. Ronald pada akhirnya tetap menjalani persidangan dengan didakwa telah melanggar Pasal 338 KUHP atau Pasal 351 ayat (3) KUHP atau Pasal 359 KUHP dan 351 ayat (1) KUHP. Setelah menjalani satu tahun proses peradilan, penantian masyarakat dan keluarga korban membuahkan hasil yang pahit. Ronald Tannur divonis bebas oleh ketiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Kejadian sebelumnya pun berulang kembali. Kali ini majelis hakim menyatakan penyebab kematian Dini bukanlah karena penganiayaan melainkan karena mabuk. Ronald Tannur dianggap tidak bersalah walaupun di tubuh korban ditemukan banyak bekas penganiayaan dan bukti CCTV yang menyatakan bahwa Ronald Tannur menggilas korban dengan mobilnya. Ronald justru dianggap telah menolong korban karena membawa korban ke rumah sakit telah kejadian tersebut. Keberpihakan penegak hukum terhadap anak mantan DPR ini terus berulang dan menuai banyak kecaman dan kekecewaan masyarakat pada sistem hukum Indonesia. Bukti yang sudah sangat jelas pun tidak dapat memasukan seorang Ronald Tannur ke dalam penjara. Anomie dalam Kasus Ronald Tannur oleh L Jennifer, SH, MH Dosen Muda Hukum Pidana Kriminologi Universitas Surabaya TERPIDANA RONALD TANNUR menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum diperiksa sebagai saksi atas kasus suap yang dilakukan ibunya-Humas Kemenkum HAM Jatim. Jumat, 15 November 2024 BINCANG HUKUM 13 Hakim justru memberikan kebebasan bagi seseorang yang telah menganiaya dan menggilas seorang wanita dengan mobil. Sekitar tiga bulan setelah bebasnya Ronald Tannur, Mahkamah Agung menyatakan dakwaan alternatif kedua penuntut umum bahwa Gregorius Ronald Tannur melanggar Pasal 351 Ayat (3) KUHP telah terbukti. Oleh sebab itu, terdakwa dijatuhi hukuman penjara lima tahun. Ketiga hakim yang memvonis bebas Ronald Tannur juga sudah ditangkap oleh Kejaksaan Agung karena telah terbukti bersekongkol Zarof Ricar, mantan pejabat di Mahkamah Agung. Penyidik mengamankan kurang lebih Rp 20,58 miliar rupiah dan 51 kg emas. Pertanyaan besar berikutnya adalah, siapa pihak yang memberikan uang sebesar itu kepada para penegak hukum. Bidikan penegak hukum saat ini tertuju pada ayah Ronald Tannur yang memiliki jabatan yang tinggi yakni mantan anggota DPR. Juga memiliki kekayaan yang besar. Saat ini belum ada bukti yang jelas tentang keterlibatan Edward Tannur yang merupakan ayah Ronald Tannur di dalam penyuapan ketiga hakim tersebut. Tapi ibu Ronald sudah dijadikan tersangka. Itu karena dalam penyidikan, ibu terpidana ini berkomplot dengan Lisa Rahmat (pengacara Ronald Tannur) untuk menyuap hakim. Tapi tampak jelas penegak hukum berhasil dibujuk pihak berkuasa dengan sumber daya yang mereka tawarkan. Pihak penegak hukum ini tidak mungkin melanggar etika kerja mereka dan mengorbankan jabatan mereka tanpa ada pihak yang menawarkan hal yang menggiurkan. Kekayaan dan kekuasaan membuat orang tidak takut hukum. Orang yang berkuasa memiliki sumber daya dapat melanggar norma tanpa takut akan konsekuensi karena sistem ekonomi dan sosial secara tidak langsung mendukung perilaku tersebut. Keadaan itu sesuai dengan teori anomie oleh Robert K. Merton. Yakni ketiadaan norma di dalam masyarakat. Keadaan anomie dalam kasus ini ditunjukkan dengan rapuhnya integritas penegak hukum Indonesia terhadap tawaran harta. Sampai akhirnya, orang yang berkuasa semakin memandang rendah hukum dan tidak merasa takut saat ingin melakukan tindak kejahatan. Kasus Ronald Tannur ini diharapkan dapat ditangani dengan baik agar menjadi pembelajaran bahwa hukum tidak seharusnya dipermainkan. Kepercayaan masyarakat semakin minim terhadap sistem hukum Indonesia akan membawa pengaruh buruk dan menyebabkan masyarakat memilih penyelesaian masalah tanpa melalui jalur hukum. Penegak hukum maupun pihak yang berusaha menutupi, menghalangi, atau mempersulit penyidikan atau penuntutan atas suatu kejahatan juga harus diberikan sanksi yang seberat-beratnya untuk memberikan efek jera. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *